Bercerita tentang perpustakaan, ternyata sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail punya banyak pengalaman. Rabu (3/2) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dia beberkan kepada para pelajar, guru, penulis, dan kalangan lain, bagaimana awal mulanya ia menyintai buku sehingga bisa jadi sastrawan terkemuka Indonesia seperti sekarang.
“Saya mempunyai ibu dan ayah yang berprofesi sebagai guru dan mereka suka membaca. Di rumah ada perpustakaan dengan koleksi beberapa ratus judul buku. Sebagai anak-anak, ketika masa pendudukan Jepang, saya dijatah dibelikan satu buku per minggu atau per dua minggu. Dibonceng sepeda ayah, kami beli buku di Pasar Johar, Semarang,” katanya.
Di toko buku, Taufiq langsung berlari ke rak buku anak-anak. Dipilih empat-lima judul buku yang disukai. Duduk di lantai. Satu buku yang dibeli disisihkan, dan empat lainnya dibaca cepat di toko buku tersebut.
Setelah baca buku anak-anak, beralih baca buku sastra. Buku sastra pertama yang dibaca Taufiq kecil adalah Tak Putus Dirundung Malang, karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Sastrawan yang kini punya Rumah Puisi di Aia Angek, kawasan lereng Gunung Marapi, di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat itu, mengaku kenal perpustakaan sejak SMP di Bukittinggi.
“Kebetulan, yang jadi kepala perpustakaan ketika itu seorang penyair, bernama Rivai Yogi. Saya senang dan bangga bisa bersalaman dengan beliau. Di perpustakaan itu juga adalah majalah sastra, sehingga saya makin suka membaca karya-karya sastra,” papar Taufiq Ismail.
Kecintaan kepada perpustakaan, membaca buku sastra dan buku-buku lainnya, berlanjut ketika SMA di Pekalongan. Kelas tiga SMA, Taufiq Ismail senang bukan main karena terpilih untuk program AFS, pertukaran pelajar Indonesia-Amerika. SMA ditamatkan di Amerika Serikat.
Sekolah di sana, Taufiq mengaku kaget, karena oleh guru sejarah ia disuruh membaca sebanyak 50 halaman buku. Semula merasa tak sanggup, apalagi yang dibaca itu bukan dalam bahasa ibu, bahasa Indonesia. Akan tetapi bacaan dalam bahasa Inggris.
“Saya coba mengadu ke orangtua Amerika, Werbach dan Helen, dan minta disampaikan ke guru agar ia diberi toleransi. Jawaban yang diberikan cukup mengagetkan. Tidak ada toleransi!” paparnya.
Di kelas sastra, juga ada tugas membaca puluhan halaman sehari. Intinya, saya harus banyak membaca. Harus sering ke perpustakaan. Perpustakaan adalah gudang ilmu. Hal-hal seperti inilah yang membentuk seorang Taufiq Ismail suka membaca.
“Saya berterimakasih ke pada perpustakaan. Saya berhutang budi dengan perpustakaan,” tandasnya.
Membandingkan pengalaman di Amerika dengan di Indonesia, Taufiq mengakui pelajar Indonesia masih ketinggalan dalam hal menulis dan membaca.
Bandingkan sekolah-sekolah negeri dan swasta dengan sekolah anak-anak orang asing (ekspatriat) di Indonesia, setiap tahun mereka membaca buku 70-80 judul buku. Setidaknya sampai kelas tujuh ada sekitar 500 judul buku yang mereka baca.
Pelajar Indonesia sangat jauh ketinggalan dalam hal membaca buku. Karena itu, para guru agar terus mendorong anak didik membaca buku setiap hari. Agar tanpa beban, mereka membaca jangan ditugasi macam-macam, seperti membuat synopsis, ringkasan, dan sejenis.
“Pupuk kesenangan mereka membaca. Ini lebih utama, modal bagi mereka untuk menyintai buku dan perpustakaan,” tambah Taufiq Ismail.
Jakarta, 3/2/2010
yurnaldi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar