Sabtu, 23 Januari 2010

Saldi Isra, Tokoh Muda Inspiratif Nasional yang Penulis


Saldi, Tokoh Muda Inspiratif Nasional yang Penulis

Oleh Yurnaldi

Sumatera Barat atau Ranah Minangkabau itu gudang pemikir dan intelektual nasional yang mumpuni dan diperhitungkan, orang sudah tahu. Sejarah bangsa ini, telah mencatat banyak nama. Dan pada suatu massa di zaman Orde Baru, sudah mulai terjadi krisis pemikir yang sekaligus penulis. Tak banyak lagi nama-nama yang mencuat ke permukaan secara nasional. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari
Ketika saya mulai bergabung di Kompas, tahun 1995, saya mendapat pertanyaan, apa tak ada lagi orang semacam Hendra Asmara dan AA Navis di Sumatera Barat? Hendra Asmara dikenal secara nasional karena ia ekonom yang penulis dan sering jadi narasumber untuk persoalan ekonomi bangsa. Pemikirannya sangat disegani, bernas, cerdas, dan mencerahkan. Begitu juga AA Navis, ia dikenal tidak saja sebagai sastrawan, tetapi juga budayawan.
Mendapat pertanyaan itu, saya seolah ditantang; kalau memang ada silakan dorong dan orbitkan. Kompas sangat terbuka bagi mereka.
Dalam perjalanan, hanya di bidang kesusastraan agak banyak penulis dan pemikir yang muncul dari Sumatera Barat. Menyebut sejumlah nama, misalnya, ada Mursal Esten, Harris Effendi Thahar, Hasanuddin WS, Darman Moenir, Gus tf Sakai, dan Yusrizal KW. Bidang kesejarahan ada Mestika Zed.
Sedangkan di bidang lain, boleh dikata tidak ada. Ketika ada suatu isu, mereka tidak siap memberikan pandangan dan pemikirannya. Kepakarannya belum teruji. Alasan yang selalu dikemukakan, “Saya belum tahu. Saya belum membaca. Buat pertanyaan tertulis, nanti saya jawab”.
Beda dengan seorang Saldi Isra. Di usia mudanya ia sudah menunjukkan kepakarannya. Ia sangat menguasai isu terkini dan selalu ada pemikiran yang orisinal darinya. Ia sering menulis di Koran daerah di Padang, sejak mahasiswa.
Tak ingat kapan pertama kali bertemu dengan Saldi. Akan tetapi untuk pertama kali ia saya jadikan narasumber adalah ketika heboh kasus ‘korupsi berjemaah’ di Sumatera Barat. Judul berita dengan narasumber Saldi waktu itu “Cacat Hukum, Pengesahan APBD Sumbar” (Kompas, 2 Februari 2002, halaman 19). Berlanjut kemudian “APBD Sumatera Barat 2002 Boros” (Kompas, 6 Februari 2002, halaman 20), “Lagi, Dana Aspirasi DPRD Sumbar Rp11 Miliar” (Kompas, 7 Februari 2002, halaman 19), dan “Diduga Melakukan Korupsi: Seluruh Anggota DPRD Sumbar Dilaporkan Kekejaksaan” (Kompas, 12 Februari 2002, halaman 20). Setelah itu Saldi tak putus-putusnya jadi narasumber Kompas.
Nama Saldi mencuat, sejalan dengan mencuatnya kasus korupsi yang heboh secara nasional itu. Gerakan sosial melawan korupsi yang dilakukan Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) di tahun 2002. Dia salah satu –tanpa menafikan sejumlah nama lain—nama yang cukup mencuat, apalagi Saldi Isra ketika itu menjadi koordinatornya.
Saldi tak hanya jadi narasumber yang selalu siap bila berhadapan dengan wartawan. Jauh sebelumnya, menjelang gerakan reformasi, Saldi sudah menulis di pemikirannya di harian Kompas. Opini Saldi Isra pertama kali dimuat judulnya “Saatnya, Perbaikan Tap MPRS No XX/1966” (Kompas, 14 Januari 1998, halaman 5). Kemudian opini “Wakil Presiden Jadi Ketua DPA? Tanggapan untuk G Moedjanto” (Kompas, 4 Maret 1998, halaman 5). Opini ketiga lahir tiga tahun kemudian, yaitu “Sekitar Pengisian Jabatan Wakil Presiden” (Kompas, 25 Juli 2001, halaman 4).
Hingga tulisan ini dibuat, 22 Januari 2010, Saldi Isra telah menulis 113 opini di harian Kompas. Terakhir berjudul “Menunggu Giliran SBY” (Kompas, 21 Januari 2010, halaman 4).
Kalau tidak salah, tahun 2008, Saldi Isra tercatat sebagai penulis paling produktif di harian Kompas. Bahkan, hingga Januari 2010, sudah 248 kali menjadi sumber berita Kompas.

Rendah hati, mau bertanya
Saldi Isra termasuk penulis dan dosen yang rendah hati dan mudah bergaul. Dia selalu menyediakan dirinya buat wartawan. Dengan saya, Saldi sempat diskusi beberapa kali. Topik cerita soal menulis artikel dan ide-ide yang bisa diangkat. Intinya saling memotivasi. Saya berharap ada penulis, inetelektual Sumbar yang disegani, muncul di pentas nasional. Saldi Isra saya cermati, sepertinya bisa diharapkan.
Saldi mungkin masih ingat kiat-kiat yang sempat saya berikan. Misalnya, bagaimana memberikan opini yang masih aktual dengan memberitakan tanggapan terhadap opini seseorang. Tentunya harus dibarengi dengan argumentasi yang bernas, gagasan orisinal, dan solusi yang kadang tak terduga. Sebab, itulah salah satu kriteria layak opini Kompas.
Pada suatu kali, Saldi pun tak segan-segan bertanya. “Nal, apa lagi yang menarik ditulis?”, begitu kadang kalau kami saling bertemu atau via telepon. Saya sarankan, kalau ada isu, jadilah yang pertama untuk menanggapainya. Saldi kemudian mengaku, usai Subuh sudah mulai membuka internet dan membaca berita-berita yang sesuai dengan bidang keahliannya. Di situlah kemudian Saldi semakin terpacu dan termotivasi untuk produktif menulis. Selalu ada ide-ide segar yang menarik untuk ditulis.
Ketika kasus gizi buruk dan busung lapar melanda Sumbar, saya kasih Saldi ide agar ia menulis hal itu dan kaitan dengan korupsi wakil rakyat. Oleh Saldi langsung menjadi ide tulisan yang menarik, Terbitlah opini “Korupsi di Negeri Busung Lapar” (Kompas, 28 Mei 2003, halaman 4).
Hari terbitnya tulisan itu, Saldi cerita dengan saya, ia satu pesawat dari Jakarta dengan Gubernur Zainal Bakar, ketika itu. Saldi cerita bagaimana mimik Zainal Bakar saat ketemu di atas pesawat, pasca ia membaca tulisan Saldi di Kompas tersebut. Saldi hanya tertawa melihat kejadian tersebut.
Terakhir, ketika Kompas mengangkat berita penghilangan ayat tembakau dalam UU Kesehatan, selain saya minta pendapat Saldi, saya juga menyarankan Saldi membuat opini. Karena pemikirannya sangat bagus. Dan enam hari setelah berita terbit, Saldi menulis opini berjudul “Kudeta Redaksional” (Kompas, 13 Oktober 2009, halaman 6). Ini sekadar gambaran, bahwa seorang Saldi juga rendah hati, tak segan-segan bertanya dan mau menerima saran/masukan.
Saking produktifnya, Saldi setahu saya tak hanya menulis di Kompas, tetapi juga media nasional lainnya. Kadang opininya muncul bersamaan di dua media. Ini sebenarnya sesuatu yang luar biasa di mata pembaca. Tapi, Saldi selalu memprioritasnya untuk Kompas.
Dari awal saya juga sudah beri gambaran. Ketika opini sudah berkali-kali dimuat di Kompas, suatu kali redaktur pasti meminta tulisan kepada Saldi. Saldi saya wanti-wanti, seandainya ada permintaan tulisan dari Jakarta (redaktur opini Kompas), maka jangan sesekali ditolak. Langsung iyakan, dan kalau perlu tinggalkan urusan kampus. Sebab, bila ditolak, untuk kali berikutnya kesempatan itu mungkin tak akan pernah ada lagi. Sepertinya, abis sudah kepercayaan redaktur, kalau permintaan itu ditolak. Karena untuk bisa jadi penulis pesanan, itu tidak gampang dan tak sembarang orang. Kalau sudah dipesan, nilai penghargaannya (honorarium) khusus.
Saldi mungkin menerima pandangan itu. Ketika ada permintaan tulisan, Saldi mengabari saya via telepon. Tulisan yang diminta kadang harus siap dalam beberapa jam, menjelang tenggat (deadline). Betapa senang Saldi mendapat tawaran itu.
Sejak itu, Saldi saya kira sudah mencatatkan dirinya sebagai pakar hukum negara di Indonesia yang produktif menulis. Sejalan dengan pemerintahan yang antikorupsi, nama Saldi Isra di pentas nasional, semakin berkibar. Karena tulisan bertebaran di mana-mana, Saldi pun bagai artis kalau sudah berada di Jakarta. Stasiun TV dan media cetak dan elektronik berlomba-lomba meminta Saldi untuk wawancara dan acara live di televisi dan radio. Sesuatu hal yang mungkin jauh dari bayangan Saldi sebelumnya.
Setelah itu banyak tawaran yang datang ke Saldi, dan ianya selalu cerita ke saya. Misalnya bagaimana ia diminta menulis laporan sebuah perusahaan, diminta jadi komentator di televisi untuk liputan live, hingga Saldi diminta dan diajak menjadi “orang SBY”, mungkin semacan tim ahli di bidang hukum, di awal-awal SBY jadi presiden, tahun 2004. Untuk yang terakhir, saran saya seperti diterima Saldi. Saya minta ditolak saja, kalau ingin jadi intelektual yang diperhitungkan sepanjang massa. Lebih baik independen. Jika bergabung, akan ada cap orang SBY. Kalau ini sudah terjadi, dan ketika SBY tak berkuasa lagi, amat sulit orang menerima pandangan Saldi sebagai penulis yang independen. Pasti dinilai sebagai penulis yang punya kepentingan.
Ketika nama Saldi mencuat sejak tahun 2002 di pangung nasional sebagai penulis dan tokoh yang antikorupsi, sejumlah lembaga sempat menghubungi saya baik dalam dan luar negeri, minta pendapat saya tentang Saldi, terkait dengan penghargaan yang akan mereka berikan. Mereka meminta saya mungkin karena saya wartawan dari media yang mereka percayai, di samping saya sering menjadikan Saldi narasumber. Mereka sepertinya mau mengkroscek. Karena saya tahu Saldi, maka rekomendasi yang saya berikan selalu positif dan apa adanya. Tak ada yang dilebih-lebihkan, karena seorang Saldi memang layak diperhitungkan.
Tahun 2004 Saldi Isra meraih penghargaan bergengsi, Bung Hatta Anti-Corruption Award. Kemudian disusul Awards of Achievement for People Who Make a Difference, dari The Gleitsman Foundation, AS, di tahun 2004 juga. Sebagai teman, saya bangga. Sekampung lagi….
Yang perlu dicatat dari Saldi, dalam tulisan-tulisannya atau gagasannya, ia kerapkali melontarkan hal-hal atau istilah yang menarik dan setelah itu dikutip dan dipakai banyak orang. Seperti istilah “tebang pilih”, lalu ide “baju terdakwa dipersidangan diberi merek/label koruptor”. Ide cerdas ini kemudian dilakukan KPK saat Antasari jadi Ketua KPK. Lalu istilah “Kudeta Redaksional”.
Makanya, tak salah Kompas menjadikan Saldi Isra menjadi salah seorang Tokoh Muda Inspiratif, yang tujuan akhirnya lebih mengenalkan orang-orang muda yang layak diperhitungkan menjadi menteri tahun 2014 ke depan…Pemikiran Saldi di Kompas pun dibukukan dengan judul “Kekuasaan dan Perilaku Korupsi”, terbit tahun 2009.
Siapa tahu, Saldi Isra kelak memang dipercaya jadi menteri…Kita lihat saja.
Tanggal 11 Februari 2009 Saldi Isra, dikukuhkan sebagai guru besar. Mungkin termasuk profesor termuda di bidang hukum di Indonesia. Saya bangga, dan selamat. Jangan berhenti menulis, kawan….

Jakarta, 22 Januari 2010