tag:blogger.com,1999:blog-78492562078212715152024-03-05T19:05:50.473-08:00wartawanhebatyurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-2192034574579201412010-02-08T01:45:00.000-08:002010-02-08T02:03:40.240-08:00Yurnaldi, "Wartawan Hebat" di Redaksi Kompas<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxchUK_BhsTWq3qzE2oI-XJPkQL3ttWjo7wo_jz2Cev_LeLHJ2vQKkCQi_aZNi-kXVBmZtuM6T58K_Eqy6QemhlNKCnBCz9CRwAYTcD7W-Pz4t_QOIb1WoPsRVh1KUzJMtIRgmcoQrL9hX/s1600-h/P1030024.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435811100875962962" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxchUK_BhsTWq3qzE2oI-XJPkQL3ttWjo7wo_jz2Cev_LeLHJ2vQKkCQi_aZNi-kXVBmZtuM6T58K_Eqy6QemhlNKCnBCz9CRwAYTcD7W-Pz4t_QOIb1WoPsRVh1KUzJMtIRgmcoQrL9hX/s320/P1030024.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitX9lHytcdyWoL19bZ38LixNfQAJ06pLY8Epl11dqT0AvLWOfPFJN4RaFsFCe2fx-QkLrlZSqIG6r8HSsBJGCgcoDT54GyOexybBKKqezU1L7kn8e_2bI-Tggl6azfe5e_OETw5tdUsKWq/s1600-h/buku+yurnaldi.jpg"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435811094541977362" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitX9lHytcdyWoL19bZ38LixNfQAJ06pLY8Epl11dqT0AvLWOfPFJN4RaFsFCe2fx-QkLrlZSqIG6r8HSsBJGCgcoDT54GyOexybBKKqezU1L7kn8e_2bI-Tggl6azfe5e_OETw5tdUsKWq/s320/buku+yurnaldi.jpg" /></a><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNYQpQvOFAD63PsXABHhNMtidfEsGga5cI0EX1jHPaQ4nCLGRRDSoUQ3HgWOrOML_CnJWmcdTuTbntQ7sRfSxqjLHYc8wsZDVNWtPnx08RznAZUuO843rr5-aCIgPhD4iKQsSp1Udtt4Xg/s1600-h/P2010231.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435811083223757986" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNYQpQvOFAD63PsXABHhNMtidfEsGga5cI0EX1jHPaQ4nCLGRRDSoUQ3HgWOrOML_CnJWmcdTuTbntQ7sRfSxqjLHYc8wsZDVNWtPnx08RznAZUuO843rr5-aCIgPhD4iKQsSp1Udtt4Xg/s320/P2010231.JPG" /></a><br /><br /><br /><div>Oleh: Muhammad Subhan</div><br /><br /><br /><div>(Catatan: profil ini telah dimuat di majalah "Rantau" oleh penulisnya)</div><br /><br /><br /><div></div><br /><br /><br /><div>Bagi kalangan wartawan senior dan pemula di Sumatera Barat, kota Padang khususnya, bisa dibilang tak ada yang tidak mengenal sosok wartawan kalem ini. Siapa lagi kalau bukan Yurnaldi, wartawan Harian Kompas yang sejak beberapa tahun lalu ditarik ke kantor pusatnya di Jakarta untuk memperkuat jajaran redaksi harian terbesar di Indonesia itu. Baginya, dapat hijrah ke ibukota merupakan sebuah prestasi luar biasa.</div><br /><br /><br /><div>Alumni Universitas Negeri Padang (UNP) ini seringkali memotivasi wartawan maupun penulis pemula dalam setiap kesempatan bersamanya, baik melalui seminar kepenulisan maupun dalam diskusi-diskusi nonformal di kampus. Baginya, semua orang memiliki potensi menulis yang luar biasa, tinggal saja mau tidaknya mengasah potensi itu.</div><br /><br /><br /><div>“Setiap kita pasti ingin meraih sesuatu prestasi. Prestasi, memang, tak selalu identik dengan meraih gelar juara. Dari tidak lihai, menjadi lihai menulis, itu sudah prestasi. Dari belum pernah dimuat di media nasional, lalu tiba-tiba bisa tembus media nasional, juga prestasi yang membanggakan bagi penulisnya,” ujar Yurnaldi dalam kesempatan berbincang-bincang dengan “Rantau” beberapa waktu lalu.</div><br /><br /><br /><div>Atau, katanya lagi, dari yang semula takut dan tak berani menulis buku, tiba-tiba bersemangat menulis buku dan terbit, ini juga prestasi yang sangat luar biasa. Bagi wartawan, kata Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama yang dikutip Yurnaldi, buku adalah mahkota wartawan. “</div><br /><br /><br /><div>Artinya, kehebatan tertinggi seorang wartawan tak hanya bisa sekadar menulis berita, menulis feature, atau menulis kolom dan artikel. Akan tetapi, juga mampu menulis buku,” ujarnya.</div><br /><br /><br /><div>Sebelum bergabung dengan Kompas, Yurnaldi memang sudah menulis buku. Hebatnya, dua buku tentang jurnalistik itu ia tulis semasa ia masih mahasiswa, yang kemudian menjadi modal utamanya untuk melamar dan bergabung dengan harian terkemuka itu. </div><br /><br /><br /><div>“Kompas memang target saya sejak jadi mahasiswa. Ibaratnya, saya ingin membuktikan kemampuan saya dalam hal menulis. Karena banyak dosen, hingga rektor waktu itu, menilai saya sangat layak di Kompas,” ujarnya sambil tertawa.</div><br /><br /><br /><div>Apa yang dikatakan Yurnaldi tidak sekedar guyon. Memang para dosennya menilai begitu, karena artikel-artikel yang ia tulis waktu mahasiswa, layaknya pemikiran seorang doktor. “Hehe… Ya, terserah mereka menilai. Tapi, setidaknya, dalam beberapa kali lomba karya ilmiah di kampus dan tingkat regional, saya berdebat dengan profesor dan doktor,” ujarnya mengenang.</div><br /><br /><br /><div>Di luar itu, banyak ide Yurnaldi yang kemudian diwujudkan. Waktu ia mahasiswa, ia pernah mengusulkan agar IKIP Padang memiliki Rektor IV, yang membidangi kerjasama dalam dan luar negeri. Akhirnya, ide ini dilaksanakan, tapi bukan dalam bentuk lembaga Pembantu Rektor IV–melainkan Lembaga Kerjasama, yang tugas, fungsi dan wewenangnya seperti yang saya usulkan. </div><br /><br /><br /><div>“Juga pernah saya gagas IKIP menjadi Universitas, dan untuk mendidik calon guru cukup ada fakultas keguruan dan ilmu kependidikan (FKIP). Ini dalam bentuk karya tulis ilmiah, berdebat dengan pakar pendidikan yang jadi juri, dan akhirnya menang. Ide ini kemudian juga jalan,” katanya lagi.</div><br /><br /><br /><div>Bahkan, karena dirinya kuliah di pendidikan kimia FPMIPA, dia juga pernah menulis sesuatu yang menghebohkan. Yurnaldi menulis tentang kiamat yang ditinjau dari ilmu kimia. Tulisan itupun diseminarkan di kampus serta di muat di media massa. </div><br /><br /><br /><div>“Jadi, sebelum heboh kiamat 2012 sekarang, saya sempat meramal kiamat yang tahunnya 2040. Rasanya, mau saya bukukan juga pemikiaran itu,” ujarnya.</div><br /><br /><br /><div>Memang, menurut Yurnaldi, sangat enak melontarkan gagasan melalui kegiatan menulis artikel atau opini, dibaca banyak orang, dikomentari, dan diam-diam ada yang melaksanakan.</div><br /><br /><br /><div></div><br /><br /><br /><div></div><br /><br /><br /><div>Sejak Mahasiswa Gemar Menulis</div><br /><br /><br /><div>Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal), sejak mahasiswa sudah gemar menulis artikel di puluhan media cetak daerah dan nasional. Biaya kuliah dan biaya hidup dibiayai dari honorarium penulis, yang pada masa itu honor setiap bulan yang ia terima melebihi gaji para dosennya.</div><br /><br /><br /><div>Juga pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang). Beberapa kali juara menulis karya ilmiah dan belasan kali jadi pembicara seminar di tingkat daerah, regional, dan nasional.</div><br /><br /><br /><div>Ia mahasiswa pertama di Sumatera Barat yang menulis dua buku ketika masih berstatus mahasiswa. Buku yang ditulis ketika itu adalah “Kiat Praktis Jurnalistik” dan “Jurnalistik Siap Pakai”. Buku tersebut hingga kini dicetak ulang dan jadi referensi mahasiswa komunikasi.</div><br /><br /><br /><div>Sejak mahasiswa, tahun 1986, di samping penulis artikel, juga menulis karya jurnalistik. Menekuni dunia kewartawanan sejak 24 tahun lalu, di mana 15 tahun terakhir bergabung dengan Kompas. Dia juga salah seorang pendiri (dan pencipta logo) Forum Wartawan Peduli Aset Daerah Sumatera Barat, Padang Press Club (PPC), dan Forum Wartawan Peduli Pariwisata Sumatera. Bergabung dengan Kompas tahun 1995.</div><br /><br /><br /><div>Sebagai wartawan profesional, Yurnaldi telah melatih ribuan calon wartawan, wartawan, staf/kepala kehumasan, serta siswa dan mahasiswa peminat bidang jurnalistik. Buku-buku jurnalistiknya laris dan menjadi referensi, antara lain “Kiat Praktis Jurnalistik” (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), “Jurnalistik Siap Pakai” (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), “Menjadi Wartawan Hebat” (Citra Budaya Indonesia, 2004, 2008). Foto Jurnalistik: “Menjadi Kaya dengan Foto” (2001, 2009).</div><br /><br /><br /><div>Juga belasan buku-buku lain, baik yang ditulis sendiri maupun terhimpun dalam berbagai buku yang ditulis bersama wartawan Kompas dan wartawan media cetak lain. Beberapa kali karyanya memenangkan lomba karya jurnalistik dan juara satu mengarang tingkat nasional. Karya jurnalistiknya tentang PLN pernah mendapat penghargaan dari Menteri Pertambangan dan Energi. Tanggal 3 Maret 2009, karya jurnalistiknya tentang gizi/kesehatan yang dimuat di Kompas.com, memperoleh penghargaan terbaik dari PT Nestle Indonesia.</div><br /><br /><br /><div>Selama di Kompas pernah bertugas dalam hitungan tahun di Bandarlampung (Lampung), Palembang (Sumatera Selatan), dan Padang (Sumatera Barat). Dan tugas sementara di sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri, seperti Republik Namibia, Republik Afrika Selatan, Botswana, Inggris, Singapura, Malaysia, Thailand. Bersama Sastrawan Hamsad Rangkuti, diundang mengikuti Pertemuan Penulis Dunia dan London Book Fair, 2004.</div><br /><br /><br /><div>Di luar profesi wartawan, Yurnaldi juga dikenal sebagai sastrawan/penyair Indonesia. Antologi tunggal yang telah terbit “Berita kepada Ibu” (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat nasional di Banda Aceh tahun 1996.</div><br /><br /><br /><div>Puisi-puisinya selain dimuat di berbagai media massa nasional, juga terhimpun dalam antologi bersama penyair Indonesia lain, yakni “Rantak 8: Antologi Puisi Penyair dari Sumatera Barat” (Kelompok Studi Sastra dan Jurnalistik Padang-Sumatera Barat, 1991), “Taraju ‘93: Kumpulan Puisi Indonesia Sumatera Barat” (Yayasan Taraju Ekspresi Budaya, 1993), “Antologi Puisi Rumpun” (Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat dan Departemen Pendidikan Nasional, 1992), “Puisi 1999 Sumatera Barat” (Dewan Kesenian Sumatera Barat, 1999), “Parade Sajak-sajak Indonesia” (Haluan, 1994), “Puisi 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Taman Budaya Solo, 1995), “Kumpulan Puisi Jalan Bersama” (Yayasan Panggung Melayu, 2008).</div><br /><br /><br /><div>Sebagai penyair ia sering dipercaya menjadi juri lomba cipta puisi dan lomba baca puisi. Terakhir salah seorang juri “Tarung Penyair Panggung” di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 27 Agustus 2008. Juga salah seorang juri pemberian nama Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Sumatera Barat. Sering juga diundang membaca puisi di berbagai kota. Terakhir baca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam acara “Baca Puisi Jalan Bersama” yang digelar Yayasan Panggung Melayu, 30 November 2008 dan dalam “Panggung Revitalisasi Budaya Melayu”, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Desember 2008.</div><br /><br /><br /><div>Namanya juga tercantum dalam “Leksikon Susastra Indonesia” (penyusun Korrie Layun Rampan, Penerbit Balai Pusataka, 2000). Pernah juga menjadi redaktur tamu dan memberikan catatan apresiatif puisi di harian Haluan, Padang, selama satu tahun.</div><br /><br /><br /><div>Selain dikenal sebagai penyair, Yurnaldi juga dikenal sebagai seniman: sebagai pelukis, kaligrafer, fotografer dengan berpameran beberapa kali dan meraih sejumlah prestasi. Beberapa kali juara dan jadi juri lomba foto. Juga juara dan juri lomba karikatur tingkat nasional.</div><br /><br /><br /><div>Mantan Pengurus Harian Dewan Kesenian Sumatera Barat (periode 2005-2007), Koordinator Penggiat Sastra Padang, Pemimpin Produksi Teater Noktah Padang, yang telah mementaskan lebih 20 kali naskah teater dengan sutradara Suhendri dan Lilik. []<br />Diposkan oleh PENA MUHAMMAD SUBHAN di <a class="timestamp-link" title="permanent link" href="http://penamuhammadsubhan.blogspot.com/2010/01/yurnaldi-wartawan-hebat-di-redaksi.html" rel="bookmark">21:43</a> <a title="Edit Entri" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=665796942536504407&postID=8527167734285601288"></a><br />Label: <a href="http://penamuhammadsubhan.blogspot.com/search/label/profil" rel="tag">profil</a> </div></div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-49195754641547838872010-02-08T01:29:00.001-08:002010-02-08T01:35:47.214-08:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBaGuFPYZpfXyD8awXPQ67t1uFYZCBGTPfbRWFdD0iReMDPXuv3f0QhdjMKdJpI159njH2qnDzcZ56pOA9BCmbC06D0Yh7fkrRpwypzGSgUB8Mk0vkM0DA2BrFEaPdPYFlTSseqArdzKbR/s1600-h/P1100110.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 240px; DISPLAY: block; HEIGHT: 320px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435803795701330050" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBaGuFPYZpfXyD8awXPQ67t1uFYZCBGTPfbRWFdD0iReMDPXuv3f0QhdjMKdJpI159njH2qnDzcZ56pOA9BCmbC06D0Yh7fkrRpwypzGSgUB8Mk0vkM0DA2BrFEaPdPYFlTSseqArdzKbR/s320/P1100110.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinGh7zBucW-IMI7Gd9hIXRE4V7L5EBJ4ELJ8lV_u-AI9-j3q5MFid3tN76Up51ZPRw76NUL1_8y-O6ZveVybdY6Z8FbAZ1AWqcZhbW57hQkg7sNUQaC1nHLJt6jIxG623FoGieai1_W78i/s1600-h/P1100108.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435803791434118146" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinGh7zBucW-IMI7Gd9hIXRE4V7L5EBJ4ELJ8lV_u-AI9-j3q5MFid3tN76Up51ZPRw76NUL1_8y-O6ZveVybdY6Z8FbAZ1AWqcZhbW57hQkg7sNUQaC1nHLJt6jIxG623FoGieai1_W78i/s320/P1100108.JPG" /></a><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEn-sKEfLlEKMvRbgYgzzIR52Gvol5F6FbGmacl4NnMA8L7vhUaG8CvkpWgawMhZZsmAwlxTeI6UKR9kBCnSK2k-2EpQcKPxFlRNWB9E4lAAzZqipgf-Q4thHnkL7XofzAMyzo6lt642u_/s1600-h/P1100097.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435803785932642226" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEn-sKEfLlEKMvRbgYgzzIR52Gvol5F6FbGmacl4NnMA8L7vhUaG8CvkpWgawMhZZsmAwlxTeI6UKR9kBCnSK2k-2EpQcKPxFlRNWB9E4lAAzZqipgf-Q4thHnkL7XofzAMyzo6lt642u_/s320/P1100097.JPG" /></a><br /><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCB4fA6zS6uMHQjqxGCQSvKvrqWkH92MXWtXXq5fniZiZIm6XfnaNDY0yMpzl5Yi-muDG1avp1AfH4SKJHgRl-3klbHh66jSfsAfTG3RUUbZdSGNvKwZeKdxX0pfwN4E863WoSmZWrXvRy/s1600-h/P1100098.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435803777652853938" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCB4fA6zS6uMHQjqxGCQSvKvrqWkH92MXWtXXq5fniZiZIm6XfnaNDY0yMpzl5Yi-muDG1avp1AfH4SKJHgRl-3klbHh66jSfsAfTG3RUUbZdSGNvKwZeKdxX0pfwN4E863WoSmZWrXvRy/s320/P1100098.JPG" /></a><br /><br /><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0DWoj-PMCyPMYK_ygqA1CUcDCI_HMrivV1rVp_J9GOjdhPxKDvCTP0arfM6P_l5pgqx-ED229StdkjSyA7SOs1oFdrtLBJ4EvECVXP5yhR1Fl70mhMIaVNCYrioeIfNWsW2xC2rJc36lo/s1600-h/P1100101.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435803775103765762" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0DWoj-PMCyPMYK_ygqA1CUcDCI_HMrivV1rVp_J9GOjdhPxKDvCTP0arfM6P_l5pgqx-ED229StdkjSyA7SOs1oFdrtLBJ4EvECVXP5yhR1Fl70mhMIaVNCYrioeIfNWsW2xC2rJc36lo/s320/P1100101.JPG" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><div>Anak-anak Bermain Tanah, Akhirnya Jadi Keramik Lucu…<br /><br />Oleh YURNALDI<br /><br />Sekarung tanah liat, Minggu (10/1) di Pasar Seni Ancol, Jakarta, jadi rebutan puluhan anak. Untung saja mereka tak saling berkelahi. Mereka tertib dan antre mengambil tanah liat seperlunya. Lalu mengambil posisi duduk di bangku-bangku panjang yang disediakan.<br />Tangan anak-anak yang mungil itu semula tampak kaku. Belum jelas benar tanah itu mau diapakan. Ada yang menggulung tanah, ada yang memipihkannya, ada pula yang mencoba menaruhnya di meja berpusing mekanik dan atau elektrik. Lambat-laun mereka seperti telah menyelesaikan sesuatu.<br />Mereka berhasil mengeksploitasi tanah liat menjadi karya seni. Ada vas bunga berbentuk kepala orang. Ada teko, ada bunga, dan banyak bentuk lainnya. Unik dan menarik. Sulit menghentikan mereka. Selesai satu keramik, mereka buat lagi bentuk lain. Baju kotor dengan tanah liat, mereka tak hirau. Anak-anak seperti menemukan minat barunya.<br />“Aku suka melukis, tapi membuat keramik baru kali ini mencoba. Senang dan mengasyikkan,” kata Aura Nabila Yuranda, murid kelas IV SDI Al-Azhar Kembangan. Dalam tempo setengah jam, selesai membuat vas bunga bergambar kepala orang.<br />Kakaknya, yang duduk di bangku kelas VII SMP Al Azhar, Kembangan, juga membuat keramik menurut kata hatinya sendiri. Sejumlah anak-anak yang lain asyik mengerjakan keramik, setelah terus dimotivasi seniman keramik senior Sri Hartono (75).<br />“Ayo anak-anak….jangan meniru. Buatlah bentuk sesuka hatimu….hasilnya pasti bagus,” ujar Sri Hartono.<br />Mendengar itu, anak-anak jadi semangat. Anak-anak lain yang semula belum berani membuat keramik, akhirnya mencoba mengambil sebongkah kecil tanah liat dan duduk di kursi. Ditemani orangtuanya, anak-anak terlihat begitu mandiri. Berani. Umumnya, mereka buat keramik adalah untuk kali pertama.<br />Juru bicara Ancol Taman Impian, Nicke Putri mengatakan, membuat keramik untuk kalangan yang berminat, terutama anak-anak, di Pasar Seni Ancol sebagai rangkaian Pameran Keramik Internasional bertajuk Jakarta Contemporary Ceramic Biennale yang Pertama, di North Art Space (NAS).<br />“Kami tak mengira, anak-anak begitu antusias ingin mencoba dan ternyata ia bangga dengan kreasi keramiknya sendiri. Mungkin ini salah satu jalan untuk meningkatkan apresiasi terhadap seni keramik,” ujar Nicke, yang anak semata wayangnya juga asyik membuat keramik.<br />Secara terpisah, Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Budi Karya Sumadi mengatakan, pameran keramik dan workshop keramik untuk menggalakkan apresiasi seni keramik.<br />“Besar harapan kami, Biennale keramik kontemporer bisa menggugah dan mendorong karya cipta keramik, baik dalam konteks perkembangan seni rupa, perkembangan industri kerajinan, maupun pengenalan kepada anak-anak,” jelasnya.<br />Pameran keramik berlangsung hingga tanggal 20 Januari mendatang. Hari Minggu (17/1) mendatang, anak-anak bisa membuat keramik lagi di Pasar Seni Ancol.</div></div></div></div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-2817037431232240642010-02-08T01:24:00.001-08:002010-02-08T01:26:27.057-08:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcHmLDdwz9sExuadkedchhr0k8onGGx067mIGSUtx2VCOKBfmfOiWle1SUOJSMNVd20zYtUBvVvZ1O18uJiH6jXvJOU3VrapHDrvlnoUf9pbexTFDbTEo4x4qnrpOjw52jaWUt5yNQZXQk/s1600-h/P2080246.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435801505947024914" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcHmLDdwz9sExuadkedchhr0k8onGGx067mIGSUtx2VCOKBfmfOiWle1SUOJSMNVd20zYtUBvVvZ1O18uJiH6jXvJOU3VrapHDrvlnoUf9pbexTFDbTEo4x4qnrpOjw52jaWUt5yNQZXQk/s320/P2080246.JPG" /></a><br /><div>Julius Pour Membuat Orang Bertanya-tanya dan Tertawa<br /><br />Oleh YURNALDI</div><br /><div></div><br /><div>Mendapat undangan dari KRT Soegito Hadipoera & Istri untuk peluncuran buku Doorstood naar Djokja Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (Penerbit Kompas, Desember 2009), Senin (21/12) di Hotel Santika, Jakarta, tetamu pada mulanya bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengundang. Soalnya, foto pengantin yang ada pada undangan, sekilas wajahnya dikenal, tapi namanya lain.<br />Pertanyaan baru terjawab ketika si penulis buku, Julius Pour, memberikan sambutan. “Saya memakai nama dan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Soegito Hadipoera untuk ikut memuliakan Praja Soerakarta Hadiningrat, Susuhunan Pakoe Boewono XII, yang tahun 2005 berkenan menganugerahkan nama dan gelar tersebut,” katanya.<br />Nama baru karena istri baru? Ya, mungkin saja, karena acara peluncuran buku sekaligus syukuran pernikahan Julius dengan Yovita Julianiwati. Sang istri baru, setelah didesak pembawa acara, baru diperkenalkan kepada tetamu. Yovita Julianiwati yang kemudian berdiri dari tempat duduk di deretan depan, terlihat tersenyum anggun kepada tetamu.<br />“Persis sebulan lalu, tanggal 21 November, pukul 11.00 siang, di gereja Santa Maria Imaculata, Banyumas, wilayah Keuskupan Purwokerto, Romo Nico Ola OMI, dibantu oleh Romo Tarsisius Aris OMI, telah menerimakan sakramen pernikahan kepada Yovita Agnesia Yulianiwati dan Julius Purwanto,” ungkap Julius, bangga.<br />Setelah tanya terjawab, penulis buku terkemuka dengan jabatan terakhir Asisten Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia ini, tatkala memberikan sambutan, membuat tamu tertawa. Berkali-kali.<br />“Hari ini, Senin 21 Desember tahun 2009. Dengan demikian, bagi kita semua sebenarnya hanya tinggal tersisa waktu selama tiga tahun. Sebab pada tanggal ini, di tahun 2012 nanti, dunia sudah bakal kiamat. Begitulah menurut perhitungan kalender suku Maya. Sungguh beruntung, kita tidak memakai kalender Maya, melainkan memakai penanggalan Masehi,” ujarnya.<br />Belum habis tawa tetamu, Julius melanjutkan. “Menurut penanggalan Masehi, kelahiran saya tercatat dalam tanggal 20 Desember. Dengan demikian, saya berada dalam naungan rasi bintang Sagitarius. Sehingga dalam perhitungan astrologi, hanya ada dua pekerjaan yang bisa cocok, sebagai ahli kitab dan yang lain, menjadi penulis buku.”<br />“Semula saya memang ingin jadi ahli kitab, menjadi pemimpin agama. Tetapi, mungkin karena roh kudus tidak mendukung, keinginan tersebut tidak pernah tercapai. Sagitarian yang berhasil menjadi ahli kitab adalah Kardinal Julius Darmaatmadaja, Uskup Jakarta. Kami dilahirkan pada tanggal yang sama, dengan Santo Pelindung sama. Namun perjalanan selanjutnya terbuktui jauh berbeda,” ujarnya.<br />Lagi-lagi tetamu tertawa.<br />Tentang buku Doorstoot naar Djokja yang diluncurkan, menurut Julius, peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu pagi 19 desember tahun 1948, sewaktu pasukan Belanda secara mendadak, melancarkan agresi militer ke Djokja, Ibu Kota Republik Indonesia.<br />“Secara pribadi peristiwa tersebut mengubah nasib saya dan banyak orang lain. Waktu itu saya tidak jadi dirakayaj ulang tahunnya, oleh karena pesawat terbang Belanda membom pasar Delanggu, sehingga kami terpaksa mengungsi ke Jatinom, di lereng Gunung Merapi,” Julius menjelaskan.<br />Kembali tetamu tertawa. Tak terkecuali Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama dan Letnan Jenderal (Purn) Himawan Sutanto, mantan Panglima Siliwangi dan mantan Kepala Staf Umum ABRI. </div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-34721615362782345382010-02-08T01:08:00.000-08:002010-02-08T01:12:28.812-08:00Ciputra, tak Lelah Beramal<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRw8u-lRw9EjIRPeYZDit5UgdEYr9bdva5SWJMfEt37zx5BK1yvKfOFulI8TUTR18_6CT-n6q7Jeh-hhJZIHM6WM_5SejqfLuJkXVsIME-5yBT_DTQOH99YnqGNv6LTafr_vnG5G0pSZmh/s1600-h/20091116nal-ciputra+dan+agung+laksono.JPG"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435797813051142530" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRw8u-lRw9EjIRPeYZDit5UgdEYr9bdva5SWJMfEt37zx5BK1yvKfOFulI8TUTR18_6CT-n6q7Jeh-hhJZIHM6WM_5SejqfLuJkXVsIME-5yBT_DTQOH99YnqGNv6LTafr_vnG5G0pSZmh/s320/20091116nal-ciputra+dan+agung+laksono.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgesxdT_dVl22FUdU62a1gL0AYT0Za4_bzFgzHd-W_MP08dl69fxJVGOq_FcKJaaAihjvhPAqDOe6An5IY7ntfPwmuRznmqJAjpz3yAPG0ePu5Mwd1t_KM3VOaABCb-cUJqzqDBdBl19M7P/s1600-h/20091116nal-ciputra+dan+agung+laksono2.JPG"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435797803984122002" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgesxdT_dVl22FUdU62a1gL0AYT0Za4_bzFgzHd-W_MP08dl69fxJVGOq_FcKJaaAihjvhPAqDOe6An5IY7ntfPwmuRznmqJAjpz3yAPG0ePu5Mwd1t_KM3VOaABCb-cUJqzqDBdBl19M7P/s320/20091116nal-ciputra+dan+agung+laksono2.JPG" /></a><br /><br /><div>Ciputra, tak Lelah Beramal</div><br /><br /><div></div><br /><br /><div>olwh Yurnaldi<br /><br />Semakin tua, semakin sibuk, tak membuat Ciputra (78) kelelahan. Dari hari ke hari waktunya lebih banyak untuk memaparkan gagasan, menebarkan virus entrepreneurship. Semangat kewirausahaan. Tampil dalam berbagai seminar dari pergutuan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.<br />“Ini masanya untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan anak bangsa, menjadi semakin lebih baik,” ujarnya, Jumat pekan lalu, di sela-sela menunggu Menko Kesra Agung Laksono.<br />Beramal dengan gagasan , dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat ia mendapatkan lebih banyak dari apa yang ia berikan. Setidak-tidaknya karunia kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman, gagasan.<br />“Sudah sejak tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya,” ungkap Ciputra.<br />Sore itu, Raja Properti Indonesia tersebut selain memaparkan latar belakang gagasannya, juga menghadiahi Agung Laksono buku Ciputra Quantum Lead, Entrepreneurship mengubah masa depan Bangsa dan masa depan Anda.<br />Menurut Ciputra, pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, maunya Ciputra harus ada gerakan nasional bersama untuk ini. Dari 2.850 perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100 hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian Entrepreneur Centre.<br />Ciputra sempat menyarankan adanya Hari Entrepreneurs, Agung Laksono mendukung sekali dan akan dicarikan tanggal dan bulannya kapan. </div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-12784552884691264312010-02-08T01:02:00.000-08:002010-02-08T01:07:47.064-08:00Setengah Hati untuk Kebudayaan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk9NFxliVoWaiJS7T3BBC7VaOasxRYl7Fmz8CF4oT_Qj4uGXfh32_X0H_tg5CH-em5tbFS9behpYHAlEUyjHk3VwB63HHmxg49pOgpVa5VZWvp75Rj0Fd4OwMNde9QNcImxBoI07V6nZDi/s1600-h/20091120nal-hari+anak+sedunia2.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435796689653057554" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk9NFxliVoWaiJS7T3BBC7VaOasxRYl7Fmz8CF4oT_Qj4uGXfh32_X0H_tg5CH-em5tbFS9behpYHAlEUyjHk3VwB63HHmxg49pOgpVa5VZWvp75Rj0Fd4OwMNde9QNcImxBoI07V6nZDi/s320/20091120nal-hari+anak+sedunia2.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4XC-XhighC7NjctfrPqMnFM6rJGKMNRebgDhMRR7K2tcYamdmJQDNDX8EORMOG7f1bYU6E45Q0ZvemhnULa895hfBnEbVd09vTng4Qh1BJpoKJkC5XSxVIBDZUpGBuuCpNtn3j9x29R6M/s1600-h/20091014nal-operabatak2.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435796684144166562" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4XC-XhighC7NjctfrPqMnFM6rJGKMNRebgDhMRR7K2tcYamdmJQDNDX8EORMOG7f1bYU6E45Q0ZvemhnULa895hfBnEbVd09vTng4Qh1BJpoKJkC5XSxVIBDZUpGBuuCpNtn3j9x29R6M/s320/20091014nal-operabatak2.JPG" /></a><br /><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidzvPP7EXXefGajZmcziCH_hk6CQTZrkDIRXEHVhZijjxg40mCvaYvBtJs2roPdMT8paWRNmDInGoQ5ddXWSaTbuVAvQgtPDIIwWUD1QumH2ZmdBZFE8mZx49Q4fONqYOZdHIIWdUzxN20/s1600-h/20090810nal-pameran+wayang2.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435796675853926818" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidzvPP7EXXefGajZmcziCH_hk6CQTZrkDIRXEHVhZijjxg40mCvaYvBtJs2roPdMT8paWRNmDInGoQ5ddXWSaTbuVAvQgtPDIIwWUD1QumH2ZmdBZFE8mZx49Q4fONqYOZdHIIWdUzxN20/s320/20090810nal-pameran+wayang2.JPG" /></a><br /><br /><br /><div>Setengah Hati untuk Kebudayaan<br /><br />Oleh YURNALDI<br /><br />Entah sampai kapan ada titik temu untuk menyatukan visi kebudayaan bangsa ini. Perdebatan dan gugatan seperti tak pernah henti-hentinya. Akan tetapi, sejarah mencatat, pertengkaran seputar kebudayaan mengawali pembentukan nasion Indonesia. Ini bukan kisah balik untuk pertengkaran itu, yang diawali sejak puluhan tahun lalu.<br />Kita cermati saja kebudayaan sebagai mana yang kita tangkap dalam kondisi kekinian. Jangan ungkit-ungkit lagi harapan-harapan yang disampaikan para seniman, cendekiawan, dan budayawan kepada calon presiden ketika kampanye, yang kemudian dialas dengan kalimat; “…akan dipertimbangkan” oleh calon presiden.<br />Atau jangan sebut-sebut lagi rekomendasi Kongres Kebudayaan terakhir di Bogor beberapa waktu lalu, yang mengusulkan kebudayaan menjadi departemen sendiri. Usulan serupa juga dikemukakan dalam kongres-kongres sebelumnya. Namun gagasan tersebut tetap belum diterima oleh Presiden.<br />Dalam kabinet Indonesia Bersatu kedua, walau masalah kebudayaan tetap diurus oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan oleh orang yang sama, (baca Jero Wacik), namun induk semangnya sudah berganti. Tidak lagi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, tetapi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian.<br />Sepertinya masalah kebudayaan mengerucut pada dimensi ekonomi. Kondisi seperti ini kemudian melahirkan pesimisme di kalangan pemikiran kebudayaan. Kebudayaan yang sejatinya adalah pengembangan segenap potensi manusia terpaku pada satu potensi. Potensi kerja seakan-akan dikembangkan habis-habisan guna menggenjot laba. Semua nilai pun direduksi ke dalam bilangan harga.<br />Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik ketika ditanya visi dan misi dengan induk semang baru itu, di awal tugasnya, belum bisa menjelaskan apa-apa kepada Kompas. Mungkin karena itu pula, dengan caranya sendiri, para seniman, cendekiawan, dan budayawan menggelar Temu Akbar Mufakat Kebudayaan Indonesia, 28-29 Oktober 2009, di Jakarta.<br />Mufakat budaya, menurut budayawan Radhar Panca Dahana, adalah medium di mana seniman, cendekiawan, dan budayawan berkumpul, mencoba menjalankan fungsi dan peran strategis serta historisnya, dalam antara lain menemukan beberapa kesimpulan yang penuh visi terhadap berbagai persoalan yang melanda Indonesia. Terbentuknya forum ini bermula dari acara Debat Capres dan Budayawan medio April 2009, yang disusul dengan berbagai pertemuan antara seniman, cendekiawan, dan budayawan yang menyepakati dibentuknya forum yang likuid, yaitu Mufakat Budaya.<br />Dari puluhan poin-poin utama hasil Mufakat Budaya, salah satu poin yang menarik adalah pernyataan bahwa kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Mestinya, kebudayaan harus menjadi sebuah kerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan.<br />Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elit saja. Kebudayaan harus diposisikan sebagai sistem nilai yang mendasari kebijakan. Dan kebijakan itu harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia. Perlu sebuah strategi kebudayaan yang didasarkan pada hal-hal di atas.<br />Mufakat Budaya merekomendasikan, strategi budaya harus melakukan beberapa langkah fundamental: (a) menginventarisasi muatan-muatan kebudayaan local, (b) mengidentifikasi kemampuan kultural apa yang membuat secara kultural kita menjadi lebih kokoh dan kaya, (c) mengabstraksi nilai-nilai fundamental apa yang seharusnya menjadi pegangan dalam interaksi dan dialog antarbudaya, dan (d) menolak intervensi birokratis yang justru memperlemah proses penguatan dan pengutuhan yang sedang ditempuh bangsa kita secara kultural.<br /><br />Kepedulian<br />Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan dan kasus munculnya tari Pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang telah menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti hendak menegaskan betapa kepedulian pemerintah terhadap budaya bagai “mendadak dangdut”.<br />Dalam kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit, misalnya, niat pemerintah untuk memajukan pariwisata situs Kota Majapahit, namun dalam praktiknya yang terjadi adalah pengrusakan. Dengan alasan proyek pemerintah pusat, pihak berwenang dan terkait di daerah dan di pusat tak pernah dilibatkan.<br />Begitu juga dengan tari Pendet. Kita baru peduli ketika negara tetangga antusias mempromosikannya. Pihak Malaysia bukan mengklaim, seperti yang diributkan di Indonesia. Menyusul kemudian heboh soal paten budaya lokal.<br />Kebijakan negara yang pada akhirnya berupaya mematenkan budaya lokal perlu ditolak, sebab hal itu, menurut forum Mufakat Budaya, memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan baik antarbudaya lokal maupun antarlokal dan global.<br />Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, kepedulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris, dan batik. Kini angklung dan juga kesenian Mak Yong, juga sedang menjalani tahapan untuk dapat pengakuan.<br />Yang menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khasanah budaya bangsa itu? Lalu bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal, masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut.<br />Terkadang, sudahlah tidak dibantu, untuk bisa menampilkannya seolah tak ada tempat. Kalau ada tempat, dikenakan sewa gedung dan pajak. Tragis memang, nasib seni tradisi dan seniman pelakunya.<br />Yang teramati selama ini, pihak asing begitu peduli dengan khasanah budaya Indonesia. Dan jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar dengan pihak asing.<br />Salah satu hasil kebudayaan kita yang sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia, dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara/Indonesia itu dijaga dengan baik di luar negeri. Kepedulian mereka tentu dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan pada gilirannya demi kejayaan bangsa mereka. Mereka sadar sekali bahwa the knowledge is power.<br />Banyak orang yang melakukan studi mengenai budaya sejarah Indonesia harus ke Leiden, misalnya, karena begitu lengkapnya koleksi literature (tulisan maupun visual) mengenai Indonesia yang dimiliki KITLV Leiden.<br />Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu minat bangsa asing kepada naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri justru hal sebaliknya yang terjadi: jangankan untuk menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat dengan teknologi fito digital, dll), naskah-naskah tersimpan di perpustakaan saja sering hilang, seperti yang terjadi di Solo. Ironis memang!<br />Kalau memang dana Pemerintah sangat terbatas, dan karena itu perhatian terhadap kebudayaan setengah hati, seharusnya dicarikan solusi, misalnya bagaimana BUMN memperuntukkan dana CSR sekian persen untuk pembinaan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan Indonesia<br />Pemerintah juga sebaiknya menggugah visi kebangsaan dan kebudayaan orang-orang kaya di negeri ini untuk menyisihkan kekayaannya guna pelestarian dan pemeliharaan kebudayaan tradisional. </div></div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-67252520411545796422010-02-03T06:03:00.000-08:002010-02-03T06:06:44.657-08:00Asma Nadia, Kita Menjadi Abadi dengan Menulis<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieIhpYb_gAfCbhqTsYMdTrwYAqDNNCIO3wZrgyHAQwN6Mcrnf-nY9BJwqwZaKIBCGFL68VOUOTZQoFivLLUrXatYnz9Hq9JFIV7djw-O6sE8Sm-uCjNh3X5X8hnbukvCYiKe3SlJgyJkF7/s1600-h/20090615nal-foto+perpustakaan+lapas+cipinang.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5434018357976820002" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieIhpYb_gAfCbhqTsYMdTrwYAqDNNCIO3wZrgyHAQwN6Mcrnf-nY9BJwqwZaKIBCGFL68VOUOTZQoFivLLUrXatYnz9Hq9JFIV7djw-O6sE8Sm-uCjNh3X5X8hnbukvCYiKe3SlJgyJkF7/s320/20090615nal-foto+perpustakaan+lapas+cipinang.JPG" /></a><br /><div>Oleh Yurnaldi</div><br /><div></div><br /><div>Acara sosialiasi perpustakaan bersama sastrawan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (3/2), menarik kalangan pelajar dan guru. Asma Nadia yang menjadi salah seorang narasumber, memberikan pengalamannya bagaimana bisa menjadi penulis yang diperhitungkan.<br />“Membaca itu saudara kembarnya menulis. Membaca itu sekolahnya menulis. Kalau kita tak membaca akan kehilangan keindahan-keindahan,” begitu ujar Asma Nadia, yang bernama lengkap Asmarani Rosalba.<br />Asma Nadia (38) lahir dari pasangan Amin Usman dan Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar Pena, suatu perkumpulan yang ikut dibidaninya untuk membantu penulis-penulis muda. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena Publishing House. Karena karya-karyanya pernah mendapat berbagai penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam berbagai lokakarya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan, baik di dalam maupun di luar negeri.<br />Terakhir dalam perjalanannya keliling Eropa usai mendapatkan undangan writers in residence dari Le Chateau de Lavigny (Agustus - September 2009), Nadia sempat diundang untuk memberikan workshop dan dialog kepenulisan antara lain di PTRI Jenewa, Masjid Al Falah Berlin (bekerja sama dengan FLP dan KBRI di sana), KBRI Roma, Manchester (dalam acara KIBAR Gathering), dan Newcastle.<br />Asma bercerita, kebiasaan membaca terbentuk ketika ia sakit-sakitan. Ada lima jenis penyakit yang menyerang dirinya, yang membuat ia harus terbaring di rumah sakit selama hampir 10 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. “Dengan membaca, penantian yang begitu panjang menjadi lebih pendek,” katanya.<br />Karena suka membaca untuk memperpendek penantian yang panjang itu, selesai membaca suatu buku, maminya, Maria Eri Susianti, selalu membelikan buku baru. “Terakhir aku tahu, untuk beli buku baru itu, mami sering tak makan siang, sehingga akibatnya sampai sekarang mengidap penyakit maag,” akunya.<br />Menurut Asma, yang sejak tahun 2009 awal merintis penerbitan sendiri: Asma Nadia Publishing House, dengan banyak membaca ada kedalaman suatu pengetahuan yang kita baca. Bahkan, kalau kita tak gemar membaca, kita akan kehilangan keindahan-keindahan.<br />“Coba lukiskan malam, paling kita tahunya kelam. Namun, di tangan sastrawan Seno Gumira Ajidharma, malam ia lukisakan dengan kata-kata; ‘Malam mengembangkan jubahnya menyelimuti kota….’ Betapa indahnya rangkaian kata tersebut,” jelasnya.<br />Asma Nadia, yang salah satu karyanya diangkat ke layar lebar, berjudul Emak Ingin Naik Haji menegaskan, dengan membaca dan kemudian menulis, kita akan menjadi abadi.<br />“Kita menjadi abadi dengan menulis,” tegasnya.<br />Kecintaan akan buku dan untuk menggalakkan masyarakat gemar membaca, melalui Yayasan Asma Nadia, Nadia merintis RumahBaca AsmaNadia (RBA). Rumah sederhana untuk membaca dan beraktivitas bagi anak-anak dan remaja kurang mampu. Saat ini RBA ada di tiga titik di Jakarta, Gresik, Bogor, Balikpapan, Pekanbaru, Yogyakarta.<br />Asma Nadia aktif menulis dan mempublikasi karyanya sejak ia lulus dari SMA 1 Budi Utomo, Jakarta. Sasarannya adalah berbagai majalah keislaman. Ia juga menulis lirik sejumlah lagu, misalnya yang dinyanyikan oleh kelompok Snada.<br />Asma telah menulis sedikitnya 40 buku hingga saat ini. Banyak di antaranya diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Di antaranya: Derai Sunyi, novel, mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA).Preh (A Waiting), naskah drama dua bahasa, diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Cinta Tak Pernah Menar, kumpulan cerpen, meraih Pena Award. Rembulan di Mata Ibu (2001), novel, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional. Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002. 101 Dating meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller. Emak Ingin Naik Haji: Cinta Hingga Ke Tanah Suci (AsmaNadia Publishing House). Jilbab Traveler (AsmaNadia Publishing House).Muhasabah Cinta Seorang Istri, dan Catatan Hati Bunda.<br />Karya-karya berikut ditulis bersama penulis lain: Ketika Penulis Jatuh Cinta, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Kisah Kasih dari Negeri Pengantin, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Jilbab Pertamaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Jatuh Bangun Cintaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Gara-gara Jilbabku, Penerbit Lingkar Pena, 2006. Galz Please Don’t Cry, Penerbit Lingkar Pena, 2006. The Real Dezperate Housewives, Penerbit Lingkar Pena, 2006. Ketika Aa Menikah Lagi, Penerbit Lingkar Pena, 2007. Karenamu Aku Cemburu, Penerbit Lingkar Pena, 2007. Catatan Hati di Setiap Sujudku, Penerbit Lingkar Pena, 2007, dan banyak lagi.<br /></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-15512403531761065782010-02-03T04:50:00.000-08:002010-02-03T04:56:12.244-08:00Taufiq Ismail Berhutang Budi dengan Perpustakaan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgdMdK9gT5__Q7VOEx4q77lgOn_iHQAc9NgttwqYrrptNocehxade-gz0FpeJksY4vlcp9nXIsXIVXRAK1ekb7IKxfADqYFjS6ynEIWCuTTotCDtEltVfaS7BJUiLq2uCFm7Q-pT-QUPv7/s1600-h/_MG_6673.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 214px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5434000151126704386" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgdMdK9gT5__Q7VOEx4q77lgOn_iHQAc9NgttwqYrrptNocehxade-gz0FpeJksY4vlcp9nXIsXIVXRAK1ekb7IKxfADqYFjS6ynEIWCuTTotCDtEltVfaS7BJUiLq2uCFm7Q-pT-QUPv7/s320/_MG_6673.JPG" /></a><br /><div><br />Bercerita tentang perpustakaan, ternyata sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail punya banyak pengalaman. Rabu (3/2) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dia beberkan kepada para pelajar, guru, penulis, dan kalangan lain, bagaimana awal mulanya ia menyintai buku sehingga bisa jadi sastrawan terkemuka Indonesia seperti sekarang.<br />“Saya mempunyai ibu dan ayah yang berprofesi sebagai guru dan mereka suka membaca. Di rumah ada perpustakaan dengan koleksi beberapa ratus judul buku. Sebagai anak-anak, ketika masa pendudukan Jepang, saya dijatah dibelikan satu buku per minggu atau per dua minggu. Dibonceng sepeda ayah, kami beli buku di Pasar Johar, Semarang,” katanya.<br />Di toko buku, Taufiq langsung berlari ke rak buku anak-anak. Dipilih empat-lima judul buku yang disukai. Duduk di lantai. Satu buku yang dibeli disisihkan, dan empat lainnya dibaca cepat di toko buku tersebut.<br />Setelah baca buku anak-anak, beralih baca buku sastra. Buku sastra pertama yang dibaca Taufiq kecil adalah Tak Putus Dirundung Malang, karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA).<br />Sastrawan yang kini punya Rumah Puisi di Aia Angek, kawasan lereng Gunung Marapi, di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat itu, mengaku kenal perpustakaan sejak SMP di Bukittinggi.<br />“Kebetulan, yang jadi kepala perpustakaan ketika itu seorang penyair, bernama Rivai Yogi. Saya senang dan bangga bisa bersalaman dengan beliau. Di perpustakaan itu juga adalah majalah sastra, sehingga saya makin suka membaca karya-karya sastra,” papar Taufiq Ismail.<br />Kecintaan kepada perpustakaan, membaca buku sastra dan buku-buku lainnya, berlanjut ketika SMA di Pekalongan. Kelas tiga SMA, Taufiq Ismail senang bukan main karena terpilih untuk program AFS, pertukaran pelajar Indonesia-Amerika. SMA ditamatkan di Amerika Serikat.<br />Sekolah di sana, Taufiq mengaku kaget, karena oleh guru sejarah ia disuruh membaca sebanyak 50 halaman buku. Semula merasa tak sanggup, apalagi yang dibaca itu bukan dalam bahasa ibu, bahasa Indonesia. Akan tetapi bacaan dalam bahasa Inggris.<br />“Saya coba mengadu ke orangtua Amerika, Werbach dan Helen, dan minta disampaikan ke guru agar ia diberi toleransi. Jawaban yang diberikan cukup mengagetkan. Tidak ada toleransi!” paparnya.<br />Di kelas sastra, juga ada tugas membaca puluhan halaman sehari. Intinya, saya harus banyak membaca. Harus sering ke perpustakaan. Perpustakaan adalah gudang ilmu. Hal-hal seperti inilah yang membentuk seorang Taufiq Ismail suka membaca.<br />“Saya berterimakasih ke pada perpustakaan. Saya berhutang budi dengan perpustakaan,” tandasnya.<br />Membandingkan pengalaman di Amerika dengan di Indonesia, Taufiq mengakui pelajar Indonesia masih ketinggalan dalam hal menulis dan membaca.<br />Bandingkan sekolah-sekolah negeri dan swasta dengan sekolah anak-anak orang asing (ekspatriat) di Indonesia, setiap tahun mereka membaca buku 70-80 judul buku. Setidaknya sampai kelas tujuh ada sekitar 500 judul buku yang mereka baca.<br />Pelajar Indonesia sangat jauh ketinggalan dalam hal membaca buku. Karena itu, para guru agar terus mendorong anak didik membaca buku setiap hari. Agar tanpa beban, mereka membaca jangan ditugasi macam-macam, seperti membuat synopsis, ringkasan, dan sejenis.<br />“Pupuk kesenangan mereka membaca. Ini lebih utama, modal bagi mereka untuk menyintai buku dan perpustakaan,” tambah Taufiq Ismail. </div><br /><div></div><br /><div>Jakarta, 3/2/2010</div><br /><div>yurnaldi </div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-52814124228685694272010-01-23T04:08:00.000-08:002010-01-23T04:21:00.732-08:00Saldi Isra, Tokoh Muda Inspiratif Nasional yang Penulis<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo3TvlCFiB2QcDGQfboYnVnd6uNo69I6dKbw61goBHiSfHM0FTuvuYPm6u-LBrwzSD6tjJ8nD867bMf7cax9whykR5zUDwaLVtbPmrO63d4qTtgvPHtgSb9kBQMf_O30iNJb8sNMWdsq9p/s1600-h/P7030223.jpg"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5429909146467356578" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo3TvlCFiB2QcDGQfboYnVnd6uNo69I6dKbw61goBHiSfHM0FTuvuYPm6u-LBrwzSD6tjJ8nD867bMf7cax9whykR5zUDwaLVtbPmrO63d4qTtgvPHtgSb9kBQMf_O30iNJb8sNMWdsq9p/s320/P7030223.jpg" /></a><br /><div>Saldi, Tokoh Muda Inspiratif Nasional yang Penulis<br /><br />Oleh Yurnaldi<br /><br />Sumatera Barat atau Ranah Minangkabau itu gudang pemikir dan intelektual nasional yang mumpuni dan diperhitungkan, orang sudah tahu. Sejarah bangsa ini, telah mencatat banyak nama. Dan pada suatu massa di zaman Orde Baru, sudah mulai terjadi krisis pemikir yang sekaligus penulis. Tak banyak lagi nama-nama yang mencuat ke permukaan secara nasional. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari<br />Ketika saya mulai bergabung di Kompas, tahun 1995, saya mendapat pertanyaan, apa tak ada lagi orang semacam Hendra Asmara dan AA Navis di Sumatera Barat? Hendra Asmara dikenal secara nasional karena ia ekonom yang penulis dan sering jadi narasumber untuk persoalan ekonomi bangsa. Pemikirannya sangat disegani, bernas, cerdas, dan mencerahkan. Begitu juga AA Navis, ia dikenal tidak saja sebagai sastrawan, tetapi juga budayawan.<br />Mendapat pertanyaan itu, saya seolah ditantang; kalau memang ada silakan dorong dan orbitkan. Kompas sangat terbuka bagi mereka.<br />Dalam perjalanan, hanya di bidang kesusastraan agak banyak penulis dan pemikir yang muncul dari Sumatera Barat. Menyebut sejumlah nama, misalnya, ada Mursal Esten, Harris Effendi Thahar, Hasanuddin WS, Darman Moenir, Gus tf Sakai, dan Yusrizal KW. Bidang kesejarahan ada Mestika Zed.<br />Sedangkan di bidang lain, boleh dikata tidak ada. Ketika ada suatu isu, mereka tidak siap memberikan pandangan dan pemikirannya. Kepakarannya belum teruji. Alasan yang selalu dikemukakan, “Saya belum tahu. Saya belum membaca. Buat pertanyaan tertulis, nanti saya jawab”.<br />Beda dengan seorang Saldi Isra. Di usia mudanya ia sudah menunjukkan kepakarannya. Ia sangat menguasai isu terkini dan selalu ada pemikiran yang orisinal darinya. Ia sering menulis di Koran daerah di Padang, sejak mahasiswa.<br />Tak ingat kapan pertama kali bertemu dengan Saldi. Akan tetapi untuk pertama kali ia saya jadikan narasumber adalah ketika heboh kasus ‘korupsi berjemaah’ di Sumatera Barat. Judul berita dengan narasumber Saldi waktu itu “Cacat Hukum, Pengesahan APBD Sumbar” (Kompas, 2 Februari 2002, halaman 19). Berlanjut kemudian “APBD Sumatera Barat 2002 Boros” (Kompas, 6 Februari 2002, halaman 20), “Lagi, Dana Aspirasi DPRD Sumbar Rp11 Miliar” (Kompas, 7 Februari 2002, halaman 19), dan “Diduga Melakukan Korupsi: Seluruh Anggota DPRD Sumbar Dilaporkan Kekejaksaan” (Kompas, 12 Februari 2002, halaman 20). Setelah itu Saldi tak putus-putusnya jadi narasumber Kompas.<br />Nama Saldi mencuat, sejalan dengan mencuatnya kasus korupsi yang heboh secara nasional itu. Gerakan sosial melawan korupsi yang dilakukan Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) di tahun 2002. Dia salah satu –tanpa menafikan sejumlah nama lain—nama yang cukup mencuat, apalagi Saldi Isra ketika itu menjadi koordinatornya.<br />Saldi tak hanya jadi narasumber yang selalu siap bila berhadapan dengan wartawan. Jauh sebelumnya, menjelang gerakan reformasi, Saldi sudah menulis di pemikirannya di harian Kompas. Opini Saldi Isra pertama kali dimuat judulnya “Saatnya, Perbaikan Tap MPRS No XX/1966” (Kompas, 14 Januari 1998, halaman 5). Kemudian opini “Wakil Presiden Jadi Ketua DPA? Tanggapan untuk G Moedjanto” (Kompas, 4 Maret 1998, halaman 5). Opini ketiga lahir tiga tahun kemudian, yaitu “Sekitar Pengisian Jabatan Wakil Presiden” (Kompas, 25 Juli 2001, halaman 4).<br />Hingga tulisan ini dibuat, 22 Januari 2010, Saldi Isra telah menulis 113 opini di harian Kompas. Terakhir berjudul “Menunggu Giliran SBY” (Kompas, 21 Januari 2010, halaman 4).<br />Kalau tidak salah, tahun 2008, Saldi Isra tercatat sebagai penulis paling produktif di harian Kompas. Bahkan, hingga Januari 2010, sudah 248 kali menjadi sumber berita Kompas.<br /><br />Rendah hati, mau bertanya<br />Saldi Isra termasuk penulis dan dosen yang rendah hati dan mudah bergaul. Dia selalu menyediakan dirinya buat wartawan. Dengan saya, Saldi sempat diskusi beberapa kali. Topik cerita soal menulis artikel dan ide-ide yang bisa diangkat. Intinya saling memotivasi. Saya berharap ada penulis, inetelektual Sumbar yang disegani, muncul di pentas nasional. Saldi Isra saya cermati, sepertinya bisa diharapkan.<br />Saldi mungkin masih ingat kiat-kiat yang sempat saya berikan. Misalnya, bagaimana memberikan opini yang masih aktual dengan memberitakan tanggapan terhadap opini seseorang. Tentunya harus dibarengi dengan argumentasi yang bernas, gagasan orisinal, dan solusi yang kadang tak terduga. Sebab, itulah salah satu kriteria layak opini Kompas.<br />Pada suatu kali, Saldi pun tak segan-segan bertanya. “Nal, apa lagi yang menarik ditulis?”, begitu kadang kalau kami saling bertemu atau via telepon. Saya sarankan, kalau ada isu, jadilah yang pertama untuk menanggapainya. Saldi kemudian mengaku, usai Subuh sudah mulai membuka internet dan membaca berita-berita yang sesuai dengan bidang keahliannya. Di situlah kemudian Saldi semakin terpacu dan termotivasi untuk produktif menulis. Selalu ada ide-ide segar yang menarik untuk ditulis.<br />Ketika kasus gizi buruk dan busung lapar melanda Sumbar, saya kasih Saldi ide agar ia menulis hal itu dan kaitan dengan korupsi wakil rakyat. Oleh Saldi langsung menjadi ide tulisan yang menarik, Terbitlah opini “Korupsi di Negeri Busung Lapar” (Kompas, 28 Mei 2003, halaman 4).<br />Hari terbitnya tulisan itu, Saldi cerita dengan saya, ia satu pesawat dari Jakarta dengan Gubernur Zainal Bakar, ketika itu. Saldi cerita bagaimana mimik Zainal Bakar saat ketemu di atas pesawat, pasca ia membaca tulisan Saldi di Kompas tersebut. Saldi hanya tertawa melihat kejadian tersebut.<br />Terakhir, ketika Kompas mengangkat berita penghilangan ayat tembakau dalam UU Kesehatan, selain saya minta pendapat Saldi, saya juga menyarankan Saldi membuat opini. Karena pemikirannya sangat bagus. Dan enam hari setelah berita terbit, Saldi menulis opini berjudul “Kudeta Redaksional” (Kompas, 13 Oktober 2009, halaman 6). Ini sekadar gambaran, bahwa seorang Saldi juga rendah hati, tak segan-segan bertanya dan mau menerima saran/masukan.<br />Saking produktifnya, Saldi setahu saya tak hanya menulis di Kompas, tetapi juga media nasional lainnya. Kadang opininya muncul bersamaan di dua media. Ini sebenarnya sesuatu yang luar biasa di mata pembaca. Tapi, Saldi selalu memprioritasnya untuk Kompas.<br />Dari awal saya juga sudah beri gambaran. Ketika opini sudah berkali-kali dimuat di Kompas, suatu kali redaktur pasti meminta tulisan kepada Saldi. Saldi saya wanti-wanti, seandainya ada permintaan tulisan dari Jakarta (redaktur opini Kompas), maka jangan sesekali ditolak. Langsung iyakan, dan kalau perlu tinggalkan urusan kampus. Sebab, bila ditolak, untuk kali berikutnya kesempatan itu mungkin tak akan pernah ada lagi. Sepertinya, abis sudah kepercayaan redaktur, kalau permintaan itu ditolak. Karena untuk bisa jadi penulis pesanan, itu tidak gampang dan tak sembarang orang. Kalau sudah dipesan, nilai penghargaannya (honorarium) khusus.<br />Saldi mungkin menerima pandangan itu. Ketika ada permintaan tulisan, Saldi mengabari saya via telepon. Tulisan yang diminta kadang harus siap dalam beberapa jam, menjelang tenggat (deadline). Betapa senang Saldi mendapat tawaran itu.<br />Sejak itu, Saldi saya kira sudah mencatatkan dirinya sebagai pakar hukum negara di Indonesia yang produktif menulis. Sejalan dengan pemerintahan yang antikorupsi, nama Saldi Isra di pentas nasional, semakin berkibar. Karena tulisan bertebaran di mana-mana, Saldi pun bagai artis kalau sudah berada di Jakarta. Stasiun TV dan media cetak dan elektronik berlomba-lomba meminta Saldi untuk wawancara dan acara live di televisi dan radio. Sesuatu hal yang mungkin jauh dari bayangan Saldi sebelumnya.<br />Setelah itu banyak tawaran yang datang ke Saldi, dan ianya selalu cerita ke saya. Misalnya bagaimana ia diminta menulis laporan sebuah perusahaan, diminta jadi komentator di televisi untuk liputan live, hingga Saldi diminta dan diajak menjadi “orang SBY”, mungkin semacan tim ahli di bidang hukum, di awal-awal SBY jadi presiden, tahun 2004. Untuk yang terakhir, saran saya seperti diterima Saldi. Saya minta ditolak saja, kalau ingin jadi intelektual yang diperhitungkan sepanjang massa. Lebih baik independen. Jika bergabung, akan ada cap orang SBY. Kalau ini sudah terjadi, dan ketika SBY tak berkuasa lagi, amat sulit orang menerima pandangan Saldi sebagai penulis yang independen. Pasti dinilai sebagai penulis yang punya kepentingan.<br />Ketika nama Saldi mencuat sejak tahun 2002 di pangung nasional sebagai penulis dan tokoh yang antikorupsi, sejumlah lembaga sempat menghubungi saya baik dalam dan luar negeri, minta pendapat saya tentang Saldi, terkait dengan penghargaan yang akan mereka berikan. Mereka meminta saya mungkin karena saya wartawan dari media yang mereka percayai, di samping saya sering menjadikan Saldi narasumber. Mereka sepertinya mau mengkroscek. Karena saya tahu Saldi, maka rekomendasi yang saya berikan selalu positif dan apa adanya. Tak ada yang dilebih-lebihkan, karena seorang Saldi memang layak diperhitungkan.<br />Tahun 2004 Saldi Isra meraih penghargaan bergengsi, Bung Hatta Anti-Corruption Award. Kemudian disusul Awards of Achievement for People Who Make a Difference, dari The Gleitsman Foundation, AS, di tahun 2004 juga. Sebagai teman, saya bangga. Sekampung lagi….<br />Yang perlu dicatat dari Saldi, dalam tulisan-tulisannya atau gagasannya, ia kerapkali melontarkan hal-hal atau istilah yang menarik dan setelah itu dikutip dan dipakai banyak orang. Seperti istilah “tebang pilih”, lalu ide “baju terdakwa dipersidangan diberi merek/label koruptor”. Ide cerdas ini kemudian dilakukan KPK saat Antasari jadi Ketua KPK. Lalu istilah “Kudeta Redaksional”.<br />Makanya, tak salah Kompas menjadikan Saldi Isra menjadi salah seorang Tokoh Muda Inspiratif, yang tujuan akhirnya lebih mengenalkan orang-orang muda yang layak diperhitungkan menjadi menteri tahun 2014 ke depan…Pemikiran Saldi di Kompas pun dibukukan dengan judul “Kekuasaan dan Perilaku Korupsi”, terbit tahun 2009.<br />Siapa tahu, Saldi Isra kelak memang dipercaya jadi menteri…Kita lihat saja.<br />Tanggal 11 Februari 2009 Saldi Isra, dikukuhkan sebagai guru besar. Mungkin termasuk profesor termuda di bidang hukum di Indonesia. Saya bangga, dan selamat. Jangan berhenti menulis, kawan….<br /><br />Jakarta, 22 Januari 2010<br /><br /><br /><br /></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-8323963268320663442009-12-07T01:42:00.000-08:002009-12-07T01:47:25.047-08:00“Soe Hok-Gie…Sekali Lagi”, Kegilaan yang Menginspirasi…<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnmQAmcyJ0AFlobgkLI4kONMPBoyR5vz4ydC8dtiQF_YkMJ3iW62Ekuv44NaEVFME7nfk_wHNu0xR6jB_5dwCpevNFoaYP_1ifyG9aDVF4RSmkGOQsC8FGcBqju4i-V9pO9YWqoRnkSpYR/s1600-h/PC040212.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5412428459480534242" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnmQAmcyJ0AFlobgkLI4kONMPBoyR5vz4ydC8dtiQF_YkMJ3iW62Ekuv44NaEVFME7nfk_wHNu0xR6jB_5dwCpevNFoaYP_1ifyG9aDVF4RSmkGOQsC8FGcBqju4i-V9pO9YWqoRnkSpYR/s320/PC040212.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji9Jbkh-CnFyYVQnaxlSe08X3Zi38_HDhIveFzyjTRoFLXdvFwJIgvl63FwAAN3QdDjFOD-MC18pOL4k4kbhTfpYnRDDlUhG5rbNIU5VbnGhCpByJ-05y-oGTf72Wp-qnasZfxDSAtxXFG/s1600-h/PC040222.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5412428450225291922" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji9Jbkh-CnFyYVQnaxlSe08X3Zi38_HDhIveFzyjTRoFLXdvFwJIgvl63FwAAN3QdDjFOD-MC18pOL4k4kbhTfpYnRDDlUhG5rbNIU5VbnGhCpByJ-05y-oGTf72Wp-qnasZfxDSAtxXFG/s320/PC040222.JPG" /></a><br /><br /><div><br />Benar-benar gila. Enam tahun musuhan, hanya karena demi Soe Hok-Gie (Jakarta,17 Desember 1942- Puncak Mahameru, 16 Desember 1969), mereka bersatu kembali. Saking tergila-gilanya, dalam tempo dua minggu, seorang Mira Lesmana, misalnya, di sela-sela kesibukan yang luar biasa, sumbangan tulisan bisa selesai dua jam menjelang tenggat.<br />Ada belasan orang penulis dalam kategori sama gilanya dengan Soe Hok-Gie --karena teman seperjuangan dan tergila-gila dengan sosok Soe Hok-Gie, dalam waktu dua bulan, bisa menghadirkan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi., setebal xxxix + 512 halaman. Ketika mereka dan puluhan pengagum serta teman Soe Hoe-Gie berjumpa, Jumat (4/12) siang di Bentara Budaya Jakarta, suasana menjadi begitu hangat. Mereka, yang umumnya sudah ubanan, tapi masih berjiwa muda, tampak saling bernoltagia. Silaturahim penuh kehangatan, yang mungkin sudah lama terputus, terjalin erat kembali.<br />Apalagi Rudy Badil, salah seorang editor buku dan teman Soe Hok-Gie, yang sama tergila-gila mendaki gunung, dengan licah dan kocak memperkenalkan satu per satu penulis dan membuka cerita yang sangat manusiawi sekali, kenangan semasa jadi aktivis kampus di Universitas Indonesia, jadi eksponen ’66. Sekitar 50-an pengunjung tak henti-hentinya dibuat tergelak, bahkan senyum-senyum malu.<br />Dan jika Anda sempat membaca buku ini --yang mungkin sudah beredar dan akan diluncurkan pertama kali, tanggal 16 Desember mendatang, di Universitas Indonesia, Depok, bersiap-siaplah jadi tambah gila. Tergila-gila karena tiba-tiba bisa jadi pengagum baru sosok Soe Hok-Gie. Semangat Anda akan menjadi terbakar dan yang pasti, menginspirasi.<br />Tergila-gila dan kemudian ikut peduli memikirkan masa kini, juga masa esok, alam bangsanya, siapa takut?<br />“Soe Hok-Gie…Sekali Lagi ini, yang katanya small outside with big inside, terbagi dalam lima bab dan tersusun unik. Unik karena buku kenangan sekaligus bungga rampai 20-an tulisan serta pemanfaatan dokumentasi ini membuat informasi kejadian dan peristiwa nyata, yang biarpun berlangsung 40-an tahun lalu, namun terasa betapa masih jelas benang merahnya dengan situasi alam bangsa zaman kini,” kata Rudy Badil, salah seorang dari tiga editor. Dua editor lainnya, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.<br />Buku dengan judul kecil Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya ini menyajikan dengan otentik dan amat eksklusif testimoni survivors Musibah Semeru 16 Desember 1969.<br />“Juga memuat rangkaian dokumentasi bagus tentang Soe Hok-Gie dan Idham Lubis, suatu sajian unik yang memberikan dimensi lain perihal kejadian masa lalu dua sekawan itu. Dari situ bisa diketahui bahwa –bahkan selewat 35 tahun sejak meninggalnya Soe 1969, nama Hok-Gie masih dicatut segelintir manusia culas untuk menjual proposal penipuan adanya harta karun tipu-tipu senilai triliunan rupiah di Puncak Mahameru,” papar Badil.<br />Yang mengejutkan, ada 14 tulisan dari penulis dengan dua kategori tadi; tergila-gila dan atau sama gilanya, yang bersikap kritis. Dengan tulisan yang bukan sekadar petasan, namun berisi ledakan bom yang mengejutkan dan patut direnungkan, yaitu betapa kejadian 40-an tahun lalu, masih mirip dan serupa dengan tahun 2010 yang ditakutkan dekat tahun “kiamat 2012”.<br />Untuk melengkapi kenangan dan mengenal semangat Soe Hok-Gie yang mashyur dengan tulisannya yang blak-blakan, terbuka, dan berani (untuk ukuran tahun 1967-1969), pembaca bisa menikmati 17 tulisan Soe Hok-Gie yang berisikan kepedulian, kesetaraan, dan kekhawatirannya terhadap nasib alam bangsanya, Indonesia. Opini di saat “djaman orde baru” itu, masihlah ada mirip-miripnya dengan “zaman orde lanjutkan” yang akan menapak hari ke-100 ini.<br />Jakob Oetama dalam tulisannya “Gelisah atas Nama Integritas” menulis, “Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-Gie pantas ditampilkan. Dilakukan tidak dengan maksud mengkultusindividukan, tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.”<br />Menurut Jakob, Soe Hok-Gie, mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat…atas nama integritas dan kehormatan diri.</div><br /><br /><div></div><br /><br /><div>salam, yurnaldi </div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-61968438353497285812009-12-04T23:41:00.000-08:002009-12-04T23:44:33.362-08:00Tulisan yang juara pertama itu...(4, habis)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxXC7ezVzvJOUZK7GkoYe5uLJzuteCSA8KEKPlmLwIARfwQ6oJeU-ER3iYa_PH-kCD_z9ETLOw4IQsc9xc71yZas6aXZss3Wp9xFd2ZmxZt_HOAPtI-9mSUU-Rj4EZeZ9Jol7Ju0o1v_MN/s1600-h/PC050227.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411654669672941410" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxXC7ezVzvJOUZK7GkoYe5uLJzuteCSA8KEKPlmLwIARfwQ6oJeU-ER3iYa_PH-kCD_z9ETLOw4IQsc9xc71yZas6aXZss3Wp9xFd2ZmxZt_HOAPtI-9mSUU-Rj4EZeZ9Jol7Ju0o1v_MN/s320/PC050227.JPG" /></a><br /><div>Ya, begitulah. Terobosan lain terus dilakukan. Yang dalam ujicoba adalah menemukan musuh alami hama kepik jeruk pada tanaman jeruk, yang menyebabkan buah jeruk jadi mengeras dan airnya tak ada. Selama ini hama kepik jeruk sulit diberantas meski sudah menggunakan pestisida. Tiga ekor hama kepik jeruk dalam satu batang, bisa merusak semua buah jeruk.<br />“Untuk tingkat kerusakan 30 persen sudah bisa kita atasi dengan agens hayati yang masih dalam ujicoba. Kita akan lakukan penelitian dalam enam bulan lagi, setelah itu baru kita lempar ke masyarakat petani,” ujar Djoni. “Bila ini berhasil, merupakan penemuan spektakuler di Indonesia.”<br />Yang spektakuler, yang membuat ekonom dan guru besar Faisal Basri tahun 2008 mau tinggal (belajar) beberapa malam di Institut Pertanian Organik (IPO) Aia Angek, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat, adalah petani binaan Djoni menemukan pupuk Cikam (cirit kambing) dan pupuk cair dari tanaman semak tothonia dan kecubung, tahun 2003.<br />Sebelum Faisal Basri sudah tak terhitung guru besar, petani, pejabat, pakar, peneliti, dan tokoh masyarakat adat, serta wakil rakyat berkunjung ke IPO Aia Angek untuk menyaksikan langsung bagaimana petani mengelola potensi lokal dengan biaya murah, dan hasil pertanian ramah lingkungan.<br />Sebab, petani binaan Djoni itu, yaitu Sutan Mancayo dan Andra, telah melakukan lompatan besar di bidang pertanian ramah lingkungan di Indonesia. Mungkin sebuah revolusi di bidang pertanian hijau.<br />Tahun 2006, penulis sudah menulis profil Sutan Mancayo dan Andra (baca: Sosok: Revolusi Pertanian Hijau di Sumbar, 13 Februari 2006).<br />Urine kambing dan tahi kambing yang selama ini terbuang percuma dan belum diketahui kegunaannya, di tangan Sutan Mancayo dan Andra dapat digunakan untuk pupuk ramah lingkungan. Tahi kambing yang sulit hancur oleh air, ternyata bisa hancur oleh urine kambing itu sendiri.<br />Temuan pupuk tahi/cirit kambing itu bisa memutus ketergantungan petani terhadap pupuk urea atau pupuk lainnya, yang harganya relatif mahal dan membuat petani selalu terjerat utang.<br />Ketika temuan petani itu diteliti Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, urine kambing rupanya mengandung kadar nitrogen 36,90 sampai 37,31 persen, fosfat 16,5-16,8 ppm, dan kalsium 0,67-1,27 persen. Artinya, kandungan nitrogen pada urine kambing sama dengan yang ada pada pupuk SP 36, yaitu 36 persen nitrogen, atau tak beda jauh dengan kandungan nitrogen pupuk urea, yakni 45 persen. Dua kilogram pupuk urea bisa diganti dengan 2,5 liter urine kambing.<br />Data ujicoba di IPO Aia Angek, satu ekor kambing menghasilkan 2,5 liter urine per hari dan menghasilkan kotoran (tahi) sebanyak satu karung selama dua bulan. Untuk kebutuhan pupuk lahan satu hektar per satu musim tanam, dibutuhkan dua ton urea. Dengan memelihara 10 ekor kambing, kebutuhan pupuk untuk satu hektar lahan sudah teratasi dan ramah lingkungan lagi.<br />Sedangkan dari daun tanaman tithonia, dari 20 kg daun tithonia, bisa dihasilkan 5,5 liter pupuk cair. Dari semaknya bisa dibuat kompos. Dari hasil penelitian, pupuk cair tithonia mengandung delapan unsur mikro lain, seperti Ca, Mg, K, Na, Cu, Za, Mn, dan Fe. Pupuk ini lebih bagus dari pupuk kimia karena mengandung banyak unsur mikro.<br />Contoh nyata bagaimana pertanian ramah lingkungan ini bisa membuat petani sejahtera, sebagaimana dipraktikkan petani di lahan IPO, bisa dilukiskan sebagai berikut:<br />Untuk menanam brokoli di lahan seluas 400 meter persegi atau 0,04 hektar, untuk bibit (1.000 batang) dibutuhkan Rp70.000. Pestisida perlu 400.000, pupuk Rp225.000. Total biaya Rp695.000. Setelah 3,5 bulan, brokoli yang diproduksi sebanyak 300 kg. Jika biaya transportasi Rp300.000 dan harga jual Rp4.000 per kg, total uang yang didapat petani Rp1,2 juta. Dipotong biaya produksi, petani hanya mendapatkan Rp205.000. Itu kalau dengan pertanian primitif, pertanian yang kini digalakkan jutaan petani di Indonesia.<br />Dengan pertanian ramah lingkungan dan ramuan antihama (agens hayati) dan pupuk alami (tahi kambing), di lahan yang sama, semua biaya pengeluaran bisa ditiadakan. Ketika brokoli siap panen, pembeli datang dan membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran, bisa Rp7.500 per kg. Dengan embel-embel produksi pertanian organik, brokoli bisa laku Rp15.000 per kg.<br />Artinya, dengan harga Rp7.500 per kg, petani mendapat hasil Rp2.250.000 per 3,5 bulan. Bandingkan dengan pola anorganik, hanya memperoleh Rp205.000 per 3,5 bulan. Dengan pertanian organik, di lahan yang sama, bisa ditanam 3-4 jenis tanaman (tumpang sari), sehingga dari lahan 400 meter persegi bisa mendatangkan penghasilan Rp2 juta sampai Rp3 juta per bulan.<br />Pertanian organik dengan temuan-temuan spektakuler ini, boleh dikatakan sebuah jawaban untuk pertanian masa depan, yang sekaligus upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Pertanian hijau ramah lingkungan dengan biaya murah dan hasil melimpah, karena tidak membutuhkan pestisida dan pupuk kimia. Lebih dari itu, keuntungan yang didapat berlipat ganda dan sehat dikonsumsi.<br />Yang jadi pertanyaan, apa pemerintah, gubernur atau menteri pertanian, berani ambil kebijakan ini?<br /><br /><br /><br />Jakarta, 28 November 2009<br /><br /><br /><br />Yurnaldi<br />Email: <a href="mailto:nalkompas@yahoo.com">nalkompas@yahoo.com</a><br />f: yurnaldi paduka raja<br />hp 08121015276<br /></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-15694203420507694102009-12-04T23:36:00.000-08:002009-12-04T23:53:12.434-08:00Tulisan yang juara pertama itu...(3)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAffJV_zc11IPr6kl_7KwOeWM_7Hl63irQwG1F9ora7XKMa1uJUy9XcW6uhMPHjuLo9afaoU8TDVpeTb1u70kbdTEuzl8FX6KnV3snMtlbsohIEusHBv_FImMiw6xd89Qtl5-NWgAJlzva/s1600-h/PC050230.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411655977067749074" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAffJV_zc11IPr6kl_7KwOeWM_7Hl63irQwG1F9ora7XKMa1uJUy9XcW6uhMPHjuLo9afaoU8TDVpeTb1u70kbdTEuzl8FX6KnV3snMtlbsohIEusHBv_FImMiw6xd89Qtl5-NWgAJlzva/s320/PC050230.JPG" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhU5n-3SH5PB9w_KAXbBqv812wD5B2ASX_8JfmXQ7Gvy-N6qepjE3eRqj2yo69n3tV3ExTPj7a5cyU0XO9kmVziXbgSm43yUVrKcYzklQJtguG-0xhPSWk32Uu0hV4jyKoYar6TpRXDRaHe/s1600-h/PC050234.JPG"></a><br /><br /><div><strong>Revolusi pertanian hijau</strong><br />Adalah kenyataan, Indonesia adalah negara agraris yang subur makmur, sebagian besar penduduknya adalah petani, tapi ironisnya petani di Indonesia tetap miskin. Belum sejahtera sebagaimana diharapkan.<br />Sejalan dengan maksud bagaimana menyejahterakan petani dan sekaligus menciptakan bumi yang lebih baik, yang intinya adalah bagaimana menyelamatkan bumi, memelihara dan mencegah lingkungan dari kerusakan, maka revolusi pertanian hijau adalah jawaban untuk itu.<br />Revolusi pertanian hijau adalah pertanian yang menghindari pemakaian bahan kimia, karena bahan kimia dapat mencemari lingkungan. Pertanian hijau adalah pertanian organik.<br />Pertani kita miskin karena sudah sejak lama, zaman Orde Baru, dibodohi melalui metode pertanian yang menuntut pengeluaran sangat besar dan tak ramah lingkungan, merusak bumi. Petani oleh pemerintah Orde Baru tidak saja dituntut peningkatan produksi, tetapi juga dipaksa memakai pupuk anorganik, pestisida, bibit impor, bahkan juga platik mulsa. Ini sebenarnya penipuan dan membuat ketergantungan petani dengan hal tersebut sangat tinggi.<br />Pemerintah waktu itu lebih fokus dengan peningkatan produksi, yang terbukti tak menjamin peningkatan kesejahteraan petani. Aneh, petani yang meja makannya saja tak pakai alas meja, malah ditawarkan pakai plastik mulsa untuk menutupi Bumi Tuhan yang luas ini. Seharusnya, yang penting itu bukan peningkatan produksi, tapi peningkatan kesejahteraan petani.<br />Kebetulan penulis, ketika bertugas di Sumatera Barat, melihat langsung bagaimana revolusi pertanian hijau digalakkan dan bertemu langsung para pelaku dan penemu yang membuat terobosan besar dalam revolusi pertanian hijau di Indonesia.<br />Untuk memberantas hama, misalnya, petani di Sumbar menggalakkan pemakaian agens hayati, musuh alami. Selama ini produk-produk usaha tani rusak kuantitas dan kualitasnya karena serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) –menyusul penggunaan pestisida yang tak terkendali.<br />Salah seorang yang gigih menggalakkan revolusi pertanian hijau sejak sekitar 25 tahun lalu sampai sekarang adalah Djoni, yang tahun tahun 2009 meraih penghargaan Kalpataru. Menurut Djoni yang kini Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Sumatera Barat mengatakan, sampai saat ini sedikitnya sudah 28 agens hayati yang sudah ditemukan dan digalakkan pemakaian.<br />Jenis agens hayati yang ditemukakan adalah entopatogen; berbentuk virus (seperti Se-NPV, Si-NPV, Ha-NPV, dan Pc-NPV), berbentuk bakteri (seperti Bxl-Cb, Bx2-EZ, Bx3-Mt, Bx4-Pi, dan Bx5-Po), dan berbentuk cendawan (Beauveia, Metarhizium, Hirsultella, dan Gibellula). Selain itu, jenis agens antagonis hanya ditemukan pada cendawan seperti Trichorderma, Cliocladium, dan untuk bahteri contohnya Pf serta jenis Parasitosid, seperti Hemiptarsenus.<br />Agens hayati yang ditemukan tersebut telah teruji efektivitasnya dalam pengendalian OPT di Sumatera Barat. Dilukiskan, pemanfaatan agens hayati Se-NPV pada tanaman bawang dapat menekan serangan ulat daun bawang sekitar 84 persen, dan penyelamatan hasil yang hilang sekitar 80 persen.<br />Pemanfaatan agens hayati Bx1-Cb pada tanaman kubis, dapat menekan serangan ulat krop sekitar 90 persen, dan penyelamatan hasil yang hilang 63 persen. Pemanfaatan agens hayati Ha-NPV pada tanaman tomat dapat menekan serangan ulat buah sekitar 65,5 persen dan menyelamatkan hasil yang hilang sekitar 83 persen. Sementara, pemanfaatan agens hayati Gliocladium pada tanaman cabai dapat menekan serangan penyakit buah sekitar 72 persen dan menyelamatkan hasil yang hilang sekitar 56 persen.<br />“Sejak delapan tahun 2001 sudah dibentuk Pusat Informasi dan Pelayanan Agens Hayati di Alahanpanjang, Kabupaten Solok. Pemakaian agens hayati oleh para petani setempat, bisa menghemat biaya sekitar Rp2,5 miliar per tahun. Sebab, mereka tidak perlu lagi menggunakan pestisida,” kata Djoni.<br />Untuk tanaman cabai, dengan sistem pertanian organik bisa dilakukan penghematan sekitar Rp2,5 juta sampai Rp3,5 juta per hektar. Untuk tanaman padi, misalnya, dengan sistem pertanian organik, waktu panen lebih cepat 15 hari dibanding sistem non-organik. Hasil panen pun lebih tinggi. Sistem pertanian ramah lingkungan ini pun tak merusak humus tanah, malah semakin menyuburkan tanah.<br />Dengan pertanian ramah lingkungan metoda tanam sebatang yang dikembangkan di Sumatera Barat, produktivitas lahan semakin meningkat. Semula hasil panen hanya sekitar 5,5 ton GKG per hektar. Dengan metode ini, hasil panen meningkat menjadi 9,6 ton per hektar. (<strong>bersambung</strong>)</div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-61920046842262289452009-12-04T23:32:00.000-08:002009-12-04T23:35:40.395-08:00Tulisan yang juara pertama itu...(2)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6vbMhZinxaZORB9bXHSQ9sVrm3KgusH8lOb19Y2wDrI76-tMP3fmczeuNKMIoff6vNCjXXDMAR1yzQzaA7-x67UW2JEV4Gw3bSL1jWDR7Cngnz3anXGAlBbhd-VHpeijfiPKC2F3PtitH/s1600-h/13092009035.jpg"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411652464210051586" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6vbMhZinxaZORB9bXHSQ9sVrm3KgusH8lOb19Y2wDrI76-tMP3fmczeuNKMIoff6vNCjXXDMAR1yzQzaA7-x67UW2JEV4Gw3bSL1jWDR7Cngnz3anXGAlBbhd-VHpeijfiPKC2F3PtitH/s320/13092009035.jpg" /></a><br /><div><strong>Dampak bagi Indonesia</strong><br />Dampak nyata dari perubahan iklim di Indonesia, ternyata sudah dari dulu dirasakan dan hingga sekarang. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan bencana seperti banjir, longsor, kemarau panjang, angin kencang, dan gelombang tinggi yang menyebabkan kapal tenggelam.<br />“Ancaman terhadap bencana iklim di Indonesia ini bahkan dapat terjadi dalam intensitas lebih besar, yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat petani, nelayan, pedesaan dan perkotaan. Dampak yang lebih luas tidak hanya merusak lingkungan, akan tetapi juga membahayakan kesehatan manusia, keamanan pangan, kegiatan pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan infrastruktur fisik,” kata pakar lingkungan hidup dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Amanda Katili, pada diskusi peluncuran buku State of World Population 2009, 19 November 2009, di Jakarta.<br />Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, pada saat peluncuran buku State of World Population 2009 menegaskan, pemanasan global juga telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan, seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, dan malaria.<br />Padahal, penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah mampu ditangani, namun sampai sekarang masih mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Timbul pula penyakit infeksi baru, seperti SARS dan flu burung.<br />“Dalam beberapa tahun ke depan, perubahan iklim dapat mengancam kehidupan para nelayan di pesisir sehingga terjadi kemiskinan dan juga kelangkaan pangan yang luar biasa. Saat ini kita sudah dapat merasakan akibat berubahnya iklim yang sulit diprediksi, seperti musim hujan yang semakin pendek sementara kemarau semakin panjang atau sebaliknya. Keadaan ini mengakibatkan petani sulit bercocok tanam dan sering terjadi gagal panen akibat kekurangan air dan serangan hama,” ungkap Menneg PP dan KA, Linda Amalia Sari.<br /><br /><strong>Bebas dari kemiskinan</strong><br />Dengan kenyataan (dampak) seperti yang telah dijelaskan tadi, sudah saatnya masyarakat Indonesia peduli bumi, dengan menciptakan bumi yang lebih baik.<br />Saya menggarisbawahi apa yang dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, bahwa perubahan iklim dapat mengancam kehidupan nelayan (dan juga petani) sehingga terjadi kemiskinan dan juga kelangkaan pangan yang luar biasa. Kelangkaan pangan disebabkan kekuarangan air dan serangan hama.<br />Dalam tulisan ini saya mencoba menginspirasi masyarakat melakukan upaya penyesuaian dengan kondisi yang sekarang (adaptasi), yang pada akhirnya akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan. Masyarakat yang miskin bisa berkurang jumlahnya.<br />Sebagai gambaran kemiskinan di Indonesia, Media Indonesia edisi 28 Mei 2008 melaporkan, sejak krisis ekonomi mulai menerpa Indonesia pada 1997, jumlah orang miskin terus bertambah. Indonesia makin berada dalam kungkungan kemiskinan. Potret kemiskinan di Indonesia hingga 2006 sulit untuk diartikan lain selain suram.<br />Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga maret 2006 mencapai 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Dengan begitu, terjadi lonjakan 3,95 juta jika dibandingkan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Februari 2005 yang menyebutkan jumlah penduduk miskin 35, 10 juta atau 15,97 persen dari total jumlah penduduk.<br />Data terbaru, yang diungkapkan Erna Witoelar dari Millennium Development Goals (MDGs) dalam buku Kita Suarakan MDGs demi Pencapaiannya di Indonesia 2007/2008, jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tahun 2007 berjumlah 37,2 juta.<br />Ke depan, akibat dampak dari perubahan iklim ini angka kemiskinan sebagaimana diprediksikan bertambah, angkanya mungkin mencapai lebih dari 37 juta, mungkin 40 juta atau 41 juta sampai 50 juta penduduk miskin.<br />Sekarang, bagaimana agar masyarakat miskin tidak bertambah jumlahnya? Atau, bagaimana angka kemiskinan yang ada saat ini bisa dikurangi? Lalu bagaimana, mengantisipasi kelangkaan pangan?<br />Baca terus tulisan ini, semoga Anda terinspirasi. (<strong>bersambung</strong>) </div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-85671486630528427682009-12-04T23:23:00.000-08:002009-12-04T23:31:55.713-08:00Tulisan yang juara pertama itu...(1)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNhXsQazyt6TRGwogZzqsfVJtJZLmCZwBJKKMrZk4lb6TvtB4pp5er8t6K5jrQXglAs0En4Sk6EqGjSHHMLZEk_d32uEr9VpV4gl74dpqtFKs4FqOSAwlMLvAsAJp0O4z02ZMWvVaSK7mf/s1600-h/PC020192.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411651496417423826" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNhXsQazyt6TRGwogZzqsfVJtJZLmCZwBJKKMrZk4lb6TvtB4pp5er8t6K5jrQXglAs0En4Sk6EqGjSHHMLZEk_d32uEr9VpV4gl74dpqtFKs4FqOSAwlMLvAsAJp0O4z02ZMWvVaSK7mf/s320/PC020192.JPG" /></a><br /><div>Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan<br /><br />Oleh Yurnaldi<br />Jurnalis KOMPAS<br /><br />Kecemasan pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, terhadap iklim global atau pemanasan global saat ini semakin menjadi-jadi. Saking pentingnya persoalan ini, negara-negara di dunia akan bertemu di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009, dalam Konferensi PBB UNFCCC-COP ke-15.<br />Pertemuan yang juga diikuti oleh delegasi Indonesia itu akan membahas langkah bersama menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi semakin memburuk. Akan ada kesepakatan global baru pengganti Protokol Kyoto --disepakati tahun 1997, yang diharapkan lebih mengikat negara-negara untuk bertanggung jawab atas penurunan emisinya.<br />Adalah kenyataan, sejak Protokol Kyoto tentang pemanasan global itu disepakati, perubahan iklim justru menunjukkan gejala memburuk dan makin cepat—melebihi perkiraan terburuk di tahun 1997. Ketika dunia selama belasan tahun didera pemanasan global, lautan Artik yang tadinya beku kini mencair menjadi jalur-jalur baru perkapalan. Di Greenland dan Antartika, seperti dilaporkan Kompas.com (24 November 2009), lapisan es telah berkurang triliunan ton. Gletser di pegunungan Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika menciut sangat cepat.<br />Banyak fakta-fakta perubahan iklim lainnya yang sampai sekarang terus berlangsung.<br />Indonesia pun dengan sigap menyikapinya dengan membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), yang diketuai oleh Presiden RI dengan wakil ketua Menko Perekonomian dan Menko Kesra, dan beranggotakan 17 menteri dan satu kepala badan.<br />Dalam Perpres No 46 Tahun 2008, tugas DNPI adalah merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan. Kemudian merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi tentang pengendalian perubahan iklim. Lalu, memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.<br />Sebelum ada DNPI, Indonesia telah menghasilkan Rencana Aksi Nasional terhadap Perubahan Iklim (RANPI) pada bulan Desember 2007, yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, menjelang Conference of Parties UNFCCC ke-13 di Bali. Namun, dalam kurun waktu 2008 hingga sekarang, posisi Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim telah mengalami kemajuan berarti yang didukung oleh serangkaian kajian perubahan iklim di Indonesia.<br />Dari kajian yang dilakukan DNPI, kesimpulannya sebagai berikut: pertama, sumber emisi gas rumah kaca Indonesia yang terbesar adalah dari lahan gambut, deforestrasi dan pembangkitan tenaga listrik. Kedua, pemanfaatan tenaga panas bumi dapat berarti kesempatan pencegahan emisi skala besar dengan biaya kecil. Ketiga, Indonesia berpeluang mengurangi emisi CO2 sebesar 2,6 giga ton setiap tahun pada 2030. (<strong>bersambung</strong>)</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-91067129387201601252009-12-04T22:43:00.000-08:002009-12-04T23:19:40.934-08:00Alhamdulillah, akhirnya juara juga<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs3A-3_GkHv5qbz5DhU4hwfnjBuHLsvqOoZcg_0Pae6wY-efSC8ZNwzK9a74ByUgcquIGfMlZ0-EwAumOWyTzqy5KQex5lkNODmSWIQJpCeM9alZZqeQzmCBylxYm8UjCBb4x5AB7d9jmM/s1600-h/PC050229.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411648373237155218" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs3A-3_GkHv5qbz5DhU4hwfnjBuHLsvqOoZcg_0Pae6wY-efSC8ZNwzK9a74ByUgcquIGfMlZ0-EwAumOWyTzqy5KQex5lkNODmSWIQJpCeM9alZZqeQzmCBylxYm8UjCBb4x5AB7d9jmM/s320/PC050229.JPG" /></a><br /><div>Setiap kita pasti ingin meraih sesuatu prestasi. Prestasi, memang, tak selalu identik dengan meraih gelar juara. Dari tidak lihai, menjadi lihai menulis, itu sudah prestasi. Dari belum pernah dimuat di media nasional, lalu tiba-tiba bisa tembus media nasional, juga prestasi yang membanggakan bagi penulisnya.</div><br /><div>Atau, dari yang semula takut dan tak berani menulis buku, tiba-tiba bersemangat menulis buku dan terbit, misalnya, ini juga prestasi yang sangat luar biasa. Bagi wartawan, kata Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama, buku adalah mahkota wartawan. Artinya, kehebatan tertinggi seorang wartawan tak hanya bisa sekadar menulis berita, menulis feature, atau menulis kolom dan artikel. Akan tetapi, juga mampu menulis buku.</div><br /><div>Sebelum bergabung dengan Kompas, saya sudah menulis buku. Ya, semasa mahasiswa saya sudah menulis dua buku jurnalistik, sehingga kemudian menjadi modal utama saya untuk melamar bergabung dengan harian terkemuka itu. Kompas memang target saya sejak jadi mahasiswa. Ibaratnya, saya ingin membuktikan kemampuan saya dalam hal menulis. Karena banyak dosen, hingga rektor waktu itu, menilai saya sangat layak di Kompas. </div><br /><div>Mereka menilai begitu, karena artikel-artikel yang saya tulis waktu mahasiswa, seperti pemikiran seorang doktor. Hehe...Ya, terserah mereka menilai. Tapi, setidaknya, dalam beberapa kali lomba karya ilmiah di kampus dan tingkat regional, saya berdebat dengan profesor dan doktor.</div><br /><div>Di luar itu, banyak ide saya yang kemudian diwujudkan. Waktu saya mahasiswa, saya pernah mengusulkan, misalnya agar IKIP Padang memiliki Rektor IV, yang membidangi kerjasama dalam dan luar negeri. Akhirnya, ide ini dilaksanakan, tapi bukan dalam bentuk lembaga Pembantu Rektor IV --melainkan Lembaga Kerjasama, yang tugas, fungsi dan wewenangnya seperti yang saya usulkan. Juga pernah saya gagas IKIP menjadi Universitas, dan untuk mendidik calon guru cukup ada fakultas keguruan dan ilmu kependidikan (FKIP). Ini dalam bentuk karya tulis ilmiah, berdebat dengan pakar pendidikan yang jadi juri, dan akhirnya menang. Ide ini kemudian juga jalan. </div><br /><div>Bahkan, karena saya kuliah di pendidikan kimia FPMIPA, saya juga pernah menulis sesuatu yang menghebohkan. Saya menulis tentang kiamat yang ditinjau dari ilmu kimia. Saya seminarkan di kampus, di muat di media massa. Jadi sebelum heboh kiamat 2012 sekarang, saya sempat meramal kiamat yang tahunnya 2040. Rasanya, mau saya bukukan juga pemikiaran itu. Saya juga membuat dosen banyak belajar pada saya, ketika saya menyajikan kolokium tentang senjata kimia, yang dampaknya lebih dahsyat dari bom.</div><br /><div>Ya, begitulah. Betapa enak kita melontarkan gagasan melalui kegiatan menulis artikel atau opini, dibaca banyak orang, dikomentari, dan diam-diam ada yang melaksanakan.</div><br /><div>Dan kembali ke soal artikel yang saya lombakan dan juara itu. Saya terdorong menulis karena selama dua tahun terakhir pengamatan saya, soal isu pemanasan global dan sebangsanya, hanya banyak diulas pada tataran persoalan di luar negeri dan menyingsung sebatas dampak-dampaknya. Lantas solusinya mana? Apa yang bisa dilakukan oleh bangsa Indonesia?</div><br /><div>Berangkat dari pertanyaan itu, kebetulan saya sering diskusi dan meliput persoalan urgen bangsa ini yang sejalan dengan upaya revolusi pertanian hijau yang ramah lingkungan. Sumbar melahirkan banyak gagasan untuk bangsa ini. Itu saya kemukakan sedetail-detailnya. Inilah yang membuat saya optimistis dan akan meraih gelar juara.</div><br /><div>Selain itu, sekurang-kurangnya, saya juga ingin membuktikan, bahwa saya tak hanya jago berteori bagaimana menulis artikel yang layak muat media massa dan layak juara. Hehe...(mungkin kelak akan saya bukukan tersendiri).</div><br /><div>Pada pengumuman pemenang semalam, saya meraih nilai tertinggi. Berikut kutipan beritanya:</div><br /><div></div><br /><div>Wartawan Kompas Juara I Menulis Artikel<br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com – Artikel berjudul “Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan” ditulis Yurnaldi, wartawan Kompas, berhasil meraih juara pertama dengan nilai tertinggi 237 pada Lomba Menulis Artikel Antarjurnalis tentang Go Green dengan tema Ciptakan Bumi yang Lebih Baik.<br />Lomba yang digelar Mall Ciputra untuk kedua kalinya itu, diikuti antusias wartawan peduli lingkungan dari berbagai media massa nasional dan daerah. “Ada 57 artikel yang dinilai, yang dikirim 37 wartawan dari Jakarta, Surabaya, dan daerah lainnya,” kata Public Relations Mal Ciputra Jakarta, Rida Kusrida, pada acara Media Gathering, Jumat (4/12) malam di Hotel Ciputra, Jakarta.</div><br /><div>Rida menjelaskan, Mal Ciputra Jakarta bermaksud meneruskan dedikasi programGo Green guna mendukung dan menciptakan bumi yang lebih baik. Selalu berupaya membantu menyelamatkan bumi yang kita cintai ini dengan cara mencegahdan mengatasi dampak dari pemanasan global dengan acara sosial yang diusung Go Green. </div><br /><div>Juara kedua dan ketiga diraih wartawan Koran Tempo dengan nilai 224,5 dan wartawan Swa Sembada dengan nilai 222. Penitia juga memilih dua pemenang harapan. Para pemenang meraih hadiah berupa piala, piagam, dan sejumlah uang tunai.(NAL) </div><br /><div></div><br /><div></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-38779240319787391332009-12-03T21:40:00.000-08:002009-12-03T22:34:05.558-08:00Ketika ditelepon dan sms<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYzWQdGJQIIkErguM5TlQS_fmdsrmyQac_DkT9KjUShEc991w_IFKw6JJR8O8Hlyza4IUkGyimkUp6JajVd8Hrl3N47OUml7HVoSTuwun6XHfjlmQFi3iAqGBUaCdPT0guUy3lQSrX7qEM/s1600-h/PC020192.JPG"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411265490421407794" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYzWQdGJQIIkErguM5TlQS_fmdsrmyQac_DkT9KjUShEc991w_IFKw6JJR8O8Hlyza4IUkGyimkUp6JajVd8Hrl3N47OUml7HVoSTuwun6XHfjlmQFi3iAqGBUaCdPT0guUy3lQSrX7qEM/s320/PC020192.JPG" /></a><br /><div>Pagi tadi, baru sekitar 75 meter bergerak dari rumah, saya ditelepon. Telepon saya jawab sembari terus mengendarai motor. "Mas, Nal, jangan sampai tidak datang ya...." suara perempuan. </div><br /><div>"Ke mana?" tanya saya....</div><br /><div>"Ke Hotel Ciputra. Pukul 18.30 sudah harus sampai ya," seperti memaksa, tapi saya lalu ingat, ini telepon dari Public Relations PT Ciputra Sentra, Rida Kusrida. Saya jadi ingat, ini pasti gara-gara saya ikut Lomba Menulis bertema "Ciptakan Bumi yang Lebih Baik", yang saya ikuti sehari menjelang tanggal penutupan.</div><br /><div>"Ya, insya Allah," ujar saya singkat.</div><br /><div>"Pokoknya, harus datang," tandasnya.</div><br /><div>"Oke," jawab saya, sembari menutup handphone.</div><br /><div>Saya yakin, ini pertanda baik. Kalau tidak, kenapa harus ngotot begitu. Saya membatin.</div><br /><div>Lantas, saya telepon istri, yang senyum-senyum liat saya memasukkan satu kemeja di tas. "Ada apa, kok bawa baju?" tanyanya. Ya, baru sekali itu saya bawa baju ganti, supaya tetap wangi. Hehe...</div><br /><div>Memang menjelang berangkat ke kantor, saya sudah yakin, salah satu nomor pada lomba menulis itu, akan saya dapat. Yakin juara pertama.</div><br /><div>Setiba di kantor, saya kemudian mendapat sms alias pesan singkat. Juga dari seorang perempuan. Namanya belum tersimpan di memori, tapi tahu setelah ia menulis di sms.</div><br /><div>"Halo NAL, hr ini ga ada tugas ke LK khan? yun."</div><br /><div>Saya heran, kok tiba-tiba, mbak Yuni, rekan sekantor saya, satu desk lagi, tanya kok begitu. Menanyakan apakah ada tugas luar kota (LK) atau tidak.</div><br /><div>"Tidak ada. Masih di Jakarta Mbak Yuni," saya balas sms.</div><br /><div>"Nanti malam dtng khan ke acara pengumuman lomba di mal ciputra?" mbak Yuni membalas.</div><br /><div>Saya jadi penasaran. kenapa mbak Yuni tanya begitu.</div><br /><div>Saya balas lagi, "rencana. mudah2an kerja bisa usai secepatnya dan ke sana. Adakah sesuatu yang menggembirakan? hehe? tak apa dibocorkan...kerahasiaan tetap dijaga."</div><br /><div>"ok sip, pokoknya to lah. tks," balasnya lagi.</div><br /><div>"trims mbak yuni. isyaratnya dah bisa terbaca." Saya tersenyum. Indra keenam saya, jauh-jauh hari, sejak saya mulai menulis kata pertama di artikel yang dilombakan, sudah yakin meraih yang terbaik.</div><br /><div>Telepon dan sms itu, di Jumat tanggal 4 Desember 2009, yang biasa disebut hari baik dan terbaik di banding hari-hari lainnya, seperti mengabarkan sesuatu yang juga tampaknya baik. Mudah-mudahan.</div><br /><div>Dari cerita ini, saya hanya hendak mengtakan, bahwa kalau kita yakin, kesempatan ada, kenapa tidak pernah mencoba. Ya, kebetulan saya ada waktu untuk menulis. Lalu yakin dengan gagasan yang ditulis, hasilnya pasti bagus. Saya akhirnya yakin juara. Keyakinan ini, seperti saya katakan sebelumnya, bukti kepercayaan diri tinggi. Bukan kesombongan.</div><br /><div>Hal ini sebenarnya tak terlepas dari pengalaman selama ini, puluhan tahun. Mengikuti lomba memang tidak bisa dipaksakan, sekadar ikut-ikutan. Kalau mau ikut, harus ada gagasan. Harus ada ide dan contoh nyata. </div><br /><div>Ya, begitulah. kita tunggu kabar baiknya, hingga malam nanti. Mungkin besok, saya berkabar lagi.</div><br /><div></div><br /><div>Jakarta, 4 Desember 2009. </div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-40810882687889510512009-12-02T03:09:00.000-08:002009-12-02T03:11:17.100-08:00Media cetak belum tergantikan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvT4mez8LfiJ1e_52ISy8r3Rn2-hNE39doL6zin4xZwjMPfY2KgPy9KanJL0QiF3IYKgtwRmyvFAiMBkrqhfxR16s17pGEVVDGU6P6l5AUQuiismBlfkyeNpVqFLE5jvkNpIq3DXM_hDYs/s1600-h/PC020196.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410594775262311266" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvT4mez8LfiJ1e_52ISy8r3Rn2-hNE39doL6zin4xZwjMPfY2KgPy9KanJL0QiF3IYKgtwRmyvFAiMBkrqhfxR16s17pGEVVDGU6P6l5AUQuiismBlfkyeNpVqFLE5jvkNpIq3DXM_hDYs/s320/PC020196.JPG" /></a><br /><div>Kejadian di Amerika Serikat pascakrisis keuangan sejak 2007, yang menyebabkan industri pers ikut jatuh bangkrut, sehingga sejumlah koran berhenti terbit, mengurangi pekerja, dan redesain, tidak berimbas ke Indonesia. Semula sempat mencemaskan, tetapi setelah dilakukan penelitian keberadaan media cetak belum tergantikan.<br />Peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan, Penenrangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) Indrajid pada presentasi riset Masa Depan Industri Media Cetak di Indonesia dan Economy Outlook 2010, yang digelar Serikat Penerbit Suratkabar, Kamis (12/11) di Jakarta, mengatakan ada 95,9 persen pembaca media cetak yang juga pemirsa TV dan 2,3 persen pendengar radio. “Fakta tersebut menunjukkan bahwa media cetak belum tergantikan. Media cetak punya pembaca yang loyal,” tandasnya.<br />Riset yang dipaparkan tersebut merupakan kerja sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar, dilakukan bulan Juni 2009. Riset pembaca media cetak itu diselenggarakan di 15 kota, yakni di Medan, Pekanbaru, Batam, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.<br />Indrajid menjelaskan, ada sekitar 3.000 responden menjadi sample survei yang dibagi secara quota masing-masing 50 persen responden remaja (12-18 tahun) dan responden dewasa (18 tahun ke atas). Ada banyak temuan menarik yang berhasil diungkap, antara lain tentang tren dalam mengkonsumsi media cetak (koran, tabloid, majalah), lama waktu membaca media cetak, rubrik-rubrik yang digemari, waktu yang paling disukai dalam membaca, tren mengkonsumsi internet, hingga daya tarik responden dalam membaca iklan-iklan media cetak.<br />Tentang media cetak Indrajid mengungkapkan, koran harian, tabloid, dan majalah terus tumbuh, kecuali koran mingguan. Jumlah tiras juga tumbuh, sekarang sekitar 20 juta eksemplar. “Pembaca lebih banyak membaca koran harian, dengan lama waktu 4 jam. Sedangkan orang baca majalah hanya punya waktu 3,5 jam,” ujarnya.<br />Untuk koran, pembaca lebih menyukai membaca rubrik kecelakaan dan atau bencana alam. Sedangkan untuk majalah, rubrik yang paling disukai adalah gaya hidup dan musik. Sebanyak 67 persen pembaca juga baca iklan.<br />Ekonom dari Universitas Indonesia, Rofikoh Rokhim, yang presentasi tentang ekonomi, iklan, dan suratkabat mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir 2014 diprediksi mencapai 7,6 persen, meningkat dari pertumbuhan ekonomi yang sekarang 6,3 persen.<br />“Tren iklan akan meningkat, tergantung kejelian kita untuk menawarkannya. Rubrik gaya hidup menjadi lebih disukai, karena kesejahteraan pembaca jauh di atas rata-rata. Yang memiliki kekayaan sekitar Rp10 miliar ada 3.000 orang, sedangkan yang memiliki kekayaan lebih dari Rp35 miliar, ada 1.200 orang,” papar Rofikoh Rokhim.<br />Sedangkan Direktur Eksekutif Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto memprediksikan oplah media cetak akan sangat tinggi, karena di Indonesia hampir tiap tahun ada pilkada. “Tahun depan ada tujuh pilkada di level provinsi,” katanya.</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-78291471469455911582009-12-02T02:37:00.000-08:002009-12-02T02:45:21.897-08:00Inovasi di balik naiknya oplah media cetak<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDM_uISMqN5kU5GFsyqWLZCEQzO4anLA34FHNA0O7Tj8lmZhNKCzv0Ym4pgvRHwRZUgNYvPN587MuEjdS7sEsTN_E0qEqpf75dHfe9wTcACBlumtCTQ9FV4aB3eruZsRdzXXMefjjVfd2M/s1600-h/krakatau.jpg"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410588075957441842" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDM_uISMqN5kU5GFsyqWLZCEQzO4anLA34FHNA0O7Tj8lmZhNKCzv0Ym4pgvRHwRZUgNYvPN587MuEjdS7sEsTN_E0qEqpf75dHfe9wTcACBlumtCTQ9FV4aB3eruZsRdzXXMefjjVfd2M/s320/krakatau.jpg" /></a><br /><div>Media cetak akan mampu bertahan di tengah arus persaingan antarsesama media yang semakin tajam dan ketat, jika terus melakukan inovasi, pembaruan. Banyak media tidak hanya sekadar bertahan, tapi mampu menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Bahkan, media yang berusia tua, terbit 1700-an, sampai sekarang masih tetap eksis. Hasil survey menunjukkan, penjualan koran sedunia tahun 2007 mencatat kenaikan 2,57 persen.<br />Demikian inti pembicaraan tentang ”Oleh-oleh dari Kongres World Association of Newspapers (WAN) di Swedia dan Prospek Iklan Media Cetak Semester II 2008”, dengan narasumber Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Antarlembaga Serikat Penerbit Suratkabar Tribuana Said, Kepala Pusat Litbang Kompas Titus Kitot, dan Business Development Manager Nielsen Media Research Maika Randini, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, beberapa waktu lalu.<br />Tribuana Said mengatakan, penjualan global suratkabar tahun 2007 sebagaimana dilaporkan CEO WAN, Timothy Balding, mengalami kenaikan 2,57 persen dengan tiras berjumlah 532 juta lembar per hari. Kenaikan itu sedikit di atas tahun 2006 dengan tiras 515 juta/hari. Namun, cukup signifikan dibanding tiras koran tahun 2002 yang berjumlah 488 juta/hari.<br />”Kenaikan penjualan koran dua tahun terakhir ditopang oleh kenaikan penjualan di dua negara besar, yakni China (3,8 persen) dan India (11 persen). Juga berkat kenaikan tiras koran gratis (20 persen) di beberapa negara. Menurut data terakhir, koran gratis mencapai 7 persen dari tiras harian sedunia,” ujarnya.<br />Menurut Tribuana Said, survei lain yang perlu disimak adalah survei yang dilakukan World Editors Forum (WEF) bekerjasama dengan Reuters dan Zoghy Internasional, dengan responden 704 pimpinan media dari seluruh penjuru dunia, tentang masa depan suratkabar.<br />Walaupun terjadi kenaikan tiras, namun tentang masa depan suratkabar ada yang menyikapinya dengan optimistis dan ada pula yang mencemaskan. Tingkat optimistis<br />pimpinan media di Asia 84 persen dan Amerika Latin 94 persen.. </div><br /><div>Tentang masalah integrated newsroom (organisasi dan operasi redaksi yang terpadu), survey WEF melaporkan, 86 persen responden setuju hal itu dan akan menjadi standar bagi semua suratkabar dalam waktu 5 tahun mendatang. Sebanyak 83 persen responden setuju bahwa jurnalis diharapkan mampu membuat konten multimedia (cetak, video, video, audio, web, mobile, dll) dalam waktu 5 tahun mendatang. Sebanyak 83 persen setuju bahwa desain ruang kerja penting untuk membangun kolaborasi antara jurnalis cetak dan online.<br />”Saat diajukan pertanyaan mengenai keharusan melakukan invovasi redaksional, khususnya pembaruan konten, 67 persen responden menyatakan halaman-halaman opini dan analisis akan bertambah di masa yang akan datang. Angka ini tak jauh berbeda dengan hasil survei yang sama di tahun 2006. Bagi World Association of Newspaper (WAN), hal ini menunjukkan kesadaran mayoritas pimpinan redaksi bahwa konten surat kabar di masa depan akan mengurangi berita faktual, dan banyak mengisinya dengan analisis dan komentar,” papar Tribuana. </div><br /><div>Semendata itu Titus Kitot mengatakan, beberapa inovasi media masa depan, di antaranya koran transparan dan newsroom. Koran transparan adalah media cetak yang membuka diri kepada publik pembaca, bahkan mengajak pembaca berpartisipasi dalam kegiatan redaksional.”Integrated Newsroom perlu juga dilembagakan di Indonesia. Sejumlah media massa sudah melakukannya. Bahkan, dengan terintegrasinya dengan sesama media dalam satu kelompok, calon pemasang iklan bisa lebih diyakinkan, bahwa satu sama lain multimedia saling menunjang,” katanya</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-80213450403240519172009-12-02T02:22:00.000-08:002009-12-02T02:28:18.457-08:00Perangi praktik jurnalistik tidak etis<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-W3aNyO4CC68QDq4-7e_w-lMhV9cxlhTBOqNRO2iCIT1syrlRkJmZTkgBmpAKq2bvo-mw_qZIcFU0ejxB8zinQvJdXm8dAMNMjTw0sLQ2Rt2CU8xmP8gwvdYSfZIWc4pxLGTXJJoG7Opw/s1600-h/20091120nal-hari+anaksedunia4.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410583608240491042" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-W3aNyO4CC68QDq4-7e_w-lMhV9cxlhTBOqNRO2iCIT1syrlRkJmZTkgBmpAKq2bvo-mw_qZIcFU0ejxB8zinQvJdXm8dAMNMjTw0sLQ2Rt2CU8xmP8gwvdYSfZIWc4pxLGTXJJoG7Opw/s320/20091120nal-hari+anaksedunia4.JPG" /></a><br /><div>Dewan Pers berharap masyarakat, terutama pemerintah daerah, di seluruh Indonesia dapat membantu memerangi praktik-praktik jurnalistik tidak etis demi penegakan kemerdekaan pers. Sebab, akhir-akhir ini Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan dan keluhan dari berbagai pihak mengenai penyalahgunaan profesi wartawan.<br />Hal itu dikatan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dalam siaran pers tentang Surat Terbuka Dewan Pers kepada Pemerintah Daerah di Seluruh Indonesia, yang penulis terima, beberapa waktu lalu. “Mereka yang mengaku wartawan itu melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan etika jurnalistik seperti memeras, memaksa, atau mengancam narasumber,” katanya.<br />Sabam Leo Batubara menjelaskan, praktik pelanggaran etika jurnalistik tersebut memanfaatkan kemerdekaan pers dengan menyalahgunakan prinsip-prinsip kemerdekaan pers untuk keuntungan atau kepentingan individu. Dengan menyalahgunakan kartu pers, organisasi wartawan, atau institusi pers, sejumlah individu mengidentifikasi diri sebagai “wartawan” sebagai sarana mencari keuntungan secara tidak etis.<br />Menurut Leo, Dewan Pers tanggal 5 Maret 2008 telah mengeluarkan pernyataan tentang Prakteik Jurnalistik yang Tidak Etis. Pernyataan Dewan Pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof Dr Ichlasul Amal MA, memuat empat poin sebagai berikut:<br />Pertama, wartawan wajib menegakkan prinsip-prinsip etika, seperti yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang telah disepakati oleh organisasi-organisasi wartawan. Wartawan tidak menggunakan cara-cara pemaksaan dan klaim sepihak terhadap informasi yang ingin dikonfirmasikan kepada narasumber.<br />Kedua, wartawan tidak boleh menerima suap (amplop) dari narasumber dalam mencari informasi, oleh karena itu masyarakat/narasumber tidak perlu menyuap wartawan. Kode Etik Jurnalistik dengan jelas menyatakan wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita. Dengan tidak menyuap, masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika dan upaya memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.<br />Ketika, masyarakat berhak menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Masyarakat berhak menolak melayani wartawan yang menyalahgunakan profesinya dalam melakukan kegiatan jurnalistik.Keempat, Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktik penyalahgunaan profesi wartawan dan melaporkan pada kepolisian</div><br /><div></div><br /><div>Jakarta, 2 Desember 2009</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-63503595893268254712009-12-02T02:01:00.000-08:002009-12-02T02:07:48.557-08:00Menulis, asyik gitu, loh...(6, habis)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuE48hGy80YHwizHw7VUtPieSGeDENdZPIF51G6TgYVT__aaCSspqtlLYf7in1awLADBIt-kjBKOmMG5BJypFrktEwon2WeAARY8kjo0YGS8zSAa9sfDJOiSNwQLvDva3_fU7Exy2kYXE2/s1600-h/sampul+buku+antirokok.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 234px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410578367777628002" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuE48hGy80YHwizHw7VUtPieSGeDENdZPIF51G6TgYVT__aaCSspqtlLYf7in1awLADBIt-kjBKOmMG5BJypFrktEwon2WeAARY8kjo0YGS8zSAa9sfDJOiSNwQLvDva3_fU7Exy2kYXE2/s320/sampul+buku+antirokok.JPG" /></a><br /><div><strong>Jangan menunggu</strong></div><br /><div><strong></strong></div><br /><div>Anda jangan menunggu. Maksudnya, menunggu tulisan yang dikirim dimuat, baru Anda menulis lagi. Pokoknya, jika ada kesempatan menulislah terus. Jangan hiraukan artikel yang telah dikirim. Tanamkan prinsip, dimuat atau tidak, yang penting kalau ada gagasan, menulis jangan ditunda-tunda.<br />Tulisan jangan panjang-panjang. Cukup 5000 sampai 7.000 karakter. Singkat, padat, bernas dan cerdas.<br />Jangan lupa, di akhir tulisan dibuat catatan tentang alamat lengkap atau e-mail, nomor telepon genggam yang bisa dihubungi, dan sekaligus nomor rekening. Sebab, seringkali redaksi sulit menghubungi balik penulis, karena tidak menerakan nomor telepon genggam atau e-mail.<br />Kalau tulisan Anda dimuat, girangnya hati bukan main. Mungkin akan menjadi momen yang bersejarah bagi Anda. Karena itu, jangan lupa mengkliping tulisan yang dimuat, sebagai dokumentasi. Untuk tulisan pertama yang dimuat, selain Anda kliping, juga bisa Anda beri pigura. Pajang di ruang kerja atau di ruang tamu. Bangga sedikit bolehlah. Bukti sejarah kepenulisan Anda, yang bisa Anda ceritakan ke anak-cucu atau Anda persembahkan kepada umum, dari generasi ke generasi.<br />Karya Al-Ghazali, misalnya, sampai sekarang pun masih dicari dan dibaca orang. Kitab Ihya ‘Ulumuddin dan Biyadatul Hidayah, sekadar contoh. Padahal, karya ini –dan juga 200 karya lainnya—ditulis oleh Al-Ghazali pada abad ke-12.<br />Artikel-artikel yang telah dimuat, suatu waktu bisa Anda bukukan. Anda kemudian tidak hanya dikenal penulis artikel, tetapi juga penulis buku. Atau kalau bukan kumpulan artikel, buku khusus tersendiri juga bisa Anda tulis. Bagaimana menulis buku, suatu topik tersendiri. Ada kiat-kiatnya, bagaimana menulis buku laris.<br /><br />=======<br /><br /><strong>Biodata<br /></strong><span style="font-size:78%;">Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal), sejak mahasiswa sudah gemar menulis artikel di puluhan media cetak daerah dan nasional. Biaya kuliah dan biaya hidup dibiayai dari honorarium penulis, yang pada masa itu honor setiap bulan yang ia terima melebihi gaji para dosennya.<br />Juga pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang). Beberapa kali juara menulis karya ilmiah dan jadi belasan kali jadi pembicara seminar di tingkat daerah, regional, dan nasional.<br />Ia mahasiswa pertama di Sumatera Barat, yang menulis dua buku ketika masih berstatus mahasiswa. Buku yang ditulis ketika itu adalah Kiat Praktis Jurnalistik dan Jurnalistik Siap Pakai. Buku tersebut hingga kini dicetak ulang dan jadi referensi mahasiswa komunikasi.<br />Sejak mahasiswa, tahun 1986, di samping penulis artikel, juga menulis karya jurnalistik.<br />Menekuni dunia kewartawanan sejak 24 tahun lalu, di mana 15 tahun terakhir bergabung dengan KOMPAS. Salah seorang pendiri (dan pencipta logo) Forum Wartawan Peduli Aset Daerah Sumatera Barat, Padang Press Club (PPC), dan Forum Wartawan Peduli Pariwisata Sumatera.Bergabung dengan KOMPAS tahun 1995.<br />Sebagai wartawan profesional, telah melatih ribuan calon wartawan, wartawan, staf/kepala kehumasan, serta siswa dan mahasiswa peminat bidang jurnalistik. Buku-buku jurnalistiknya laris dan menjadi referensi, antara lain Kiat Praktis Jurnalistik (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), Jurnalistik Siap Pakai (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), Menjadi Wartawan Hebat (Citra Budaya Indonesia, 2004, 2008). Foto Jurnalistik: Menjadi Kaya dengan Foto (2001,2009).<br />Juga belasan buku-buku lain, baik yang ditulis sendiri maupun terhimpun dalam berbagai buku yang ditulis bersama wartawan KOMPAS dan wartawan media cetak lain. Beberapa kali karyanya memenangkan lomba karya jurnalistik dan juara satu mengarang tingkat nasional. Karya jurnalistiknya tentang PLN pernah mendapat penghargaan dari Menteri Pertambangan dan Energi. Tanggal 3 Maret 2009, karya jurnalistiknya tentang gizi/kesehatan yang dimuat di Kompas.com, memperoleh penghargaan terbaik dari PT Nestle Indonesia.<br />Selama di KOMPAS pernah bertugas dalam hitungan tahun di Bandarlampung (Lampung), Palembang (Sumatera Selatan), dan Padang (Sumatera Barat). Dan tugas sementara di sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri, seperti Republik Namibia, Republik Afrika Selatan, Botswana, Inggris, Singapura, Malaysia, Thailand.<br />Bersama Sastrawan Hamsad Rangkuti, diundang mengikuti Pertemuan Penulis Dunia dan London Book Fair, 2004.<br />Di luar profesi wartawan, Yurnaldi juga dikenal sebagai sastrawan/penyair Indonesia. Antologi tunggal yang telah terbit Berita kepada Ibu (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat nasional di Banda Aceh tahun 1996.<br />Puisi-puisinya selain dimuat di berbagai media massa nasional, juga terhimpun dalam antologi bersama penyair Indonesia lain, yakni Rantak 8: Antologi Puisi Penyair dari Sumatera Barat (Kelompok Studi Sastra dan Jurnalistik Padang-Sumatera Barat, 1991), Taraju '93: Kumpulan Puisi Indonesia Sumatera Barat (Yayasan Taraju Ekspresi Budaya, 1993), Antologi Puisi Rumpun (Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat dan Departemen Pendidikan Nasional, 1992), Puisi 1999 Sumatera Barat (Dewan Kesenian Sumatera Barat, 1999), Parade Sajak-sajak Indonesia (Haluan, 1994), Puisi 50 Tahun Indonesia Merdeka (Taman Budaya Solo, 1995), Kumpulan Puisi Jalan Bersama (Yayasan Panggung Melayu, 2008)<br />Sebagai penyair sering dipercaya jadi juri lomba cipta puisi dan lomba baca puisi. Terakhir salah seorang juri Tarung Penyair Panggung di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 27 Agustus 2008. Juga salah seorang juri pemberian nama Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Sumatera Barat. Sering juga diundang membaca puisi di berbagai kota. Terakhir baca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam acara Baca Puisi Jalan Bersama yang digelar Yayasan Panggung Melayu, 30 November 2008 dan dalam Panggung Revitalisasi Budaya Melayu, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Desember 2008.<br />Namanya juga tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (penyusun Korrie Layun Rampan, Penerbit Balai Pusataka, 2000). Pernah juga menjadi redaktur tamu dan memberikan catatan apresiatif puisi di harian Haluan, Padang, selama satu tahun.<br />Selain dikenal sebagai penyair, Yurnaldi juga dikenal sebagai seniman: sebagai pelukis, kaligrafer, fotografer dengan berpameran beberapa kali dan meraih sejumlah prestasi. Beberapa kali juara dan jadi juri lomba foto. Juga juara dan juri lomba karikatur tingkat nasional.<br />Mantan Pengurus Harian Dewan Kesenian Sumatera Barat (periode 2005-2007), Koordinator Penggiat Sastra Padang, Pemimpin Produksi Teater Noktah Padang, yang telah mementaskan lebih 20 kali naskah teater dengan sutradara Suhendri dan Lilik.<br /><br /></span><br /><br /></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-35840803777615268302009-12-02T01:54:00.000-08:002009-12-02T02:00:36.926-08:00Menulis, asyik gitu, loh...(5)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBFRsT8UnNWCUdsy0DuQnJAYP5bhLWbLk_m7iMk5COc_0KvP3L-CReSBYvoHrEOoBkqpnjU-BSAW6lrbHuniOQs0VgyRim4PCfZMhxY2uaqMWFw6kgEyBaZBJqBwGp63UxNIvzKF6wNDiY/s1600-h/gagahnyo.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 240px; FLOAT: left; HEIGHT: 320px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410576569056505170" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBFRsT8UnNWCUdsy0DuQnJAYP5bhLWbLk_m7iMk5COc_0KvP3L-CReSBYvoHrEOoBkqpnjU-BSAW6lrbHuniOQs0VgyRim4PCfZMhxY2uaqMWFw6kgEyBaZBJqBwGp63UxNIvzKF6wNDiY/s320/gagahnyo.JPG" /></a><br /><div><strong>Satu tema</strong></div><br /><div></div><br /><div>Yang perlu Anda ingat, sebuah artikel pada dasarnya menyampaikan satu tema, bahkan cenderung menyempit. Hanya membahas satu subtema. Akan tetapi, pendekatannya bisa dari berbagai sudut tinjauan.<br />Dalam menulis, sejak dari kalimat pertama sampai kalimat penutup jangan ada kesan bahwa penulis hendak memaksakan pandangannya, seolah-olah apa yang hendak disampaikan bersifat mutlak.<br />Kecendekiawanan atau sikap ilmiah bukan karena penulis menggunakan setumpuk istilah-istilah ilmiah, tetapi dalam cara menyampaikan argumentasi dan dalam mengambil kesimpulan. Artikel atau opini mengambarkan tingkat peradaban dan karakter penulis. Cita rasa bahasa yang tinggi sangat penting jadi milik penulis artikel/opini. Kalau Anda ragu dengan sebuah kata atau istilah, bukalah kamus. Untuk itu, penting Anda memiliki Kamus Umum Bahasa Indonesia, Tesaurus Bahasa Indonesia, Kamus Istilah, Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Pedoman Pembentukan Istilah, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing, dan banyak buku sejenis.<br />Kemudian, fakta dan data yang Anda tampilkan dalam tulisan jangan keliru, jangan salah kutip. Sumbernya harus jelas. Kalau dapat, usahakan tampilkan data mutakhir. Untuk mencari data ini, Anda bisa akses internet. Sebab, kalau data di buku-buku umumnya tidak mutakhir lagi. Banyak sumber data yang bisa Anda jajaki atau kunjungi.<br />Selesai menulis sebuah artikel, jangan buru-buru dikirim. Baca ulang dua-tiga kali. Bila dirasakan masih ada yang kurang, revisi lagi dan buatlah yang terbaik. Bila sudah merasa sempurna, minta pendapat satu-dua orang teman sejawat tentang Artikel yang Anda tulis. Kalau ada saran dan masukan darinya, terima dengan suka cita dan pertimbangkan. Jika perlu tulis ulang lagi dengan menambahkan masukan, saran dan data tambahan tadi. Usai itu, minta juga masukan, artikel yang Anda tulis dikirim ke media mana baiknya? Kalau proses ini Anda lakukan, saya yakin, tulisan Anda bakalan jarang ditolak redaksi.<br />Suatu tulisan jangan dikirim ke banyak media, dengan sistem untung-untungan, dengan pikiran: terserah, media mana yang duluan memuat. Kalau sudah dimuat, baru tulisan yang sama di media lain, minta Anda batalkan. Ini sikap yang kurang beretika. Apalagi kalau satu tulisan Anda sampai dimuat di dua media, Anda bakalan diberi sanksi, mungkin masuk daftar hitam.Harusnya, jika media yang Anda tuju menolak tulisan Anda, maka peluang dimuat ada pada media lain. Media yang profesional akan mengabari Anda apa tulisan Anda diterima atau ditolak, atau diterima dengan sejumlah catatan, mungkin tulisan diminta agar dimampatkan, dikurangi sekian ratus kata, misalnya. Kalau ditolak, pasti redaksi memberikan alasannya. (<strong>bersambung)</strong></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-56469884148599730062009-12-02T01:47:00.000-08:002009-12-02T01:53:48.245-08:00menulis, asyik gitu. loh...(4)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkfLZNaDJGK19Xc8csu3CM9n8NjlebdRiJvIC8UclABKRGbvihd48epNzc2ThKjH5GzCDtQVEi0emMr78Ux-qj6X0OV3ySdubGR0yG8qTD4-xD-F7gXMEoFvnXJfPKHRvUE8mgQ6fh1zuk/s1600-h/foto+ficerrokok.JPG"><img style="TEXT-ALIGN: center; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; DISPLAY: block; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410574626227844130" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkfLZNaDJGK19Xc8csu3CM9n8NjlebdRiJvIC8UclABKRGbvihd48epNzc2ThKjH5GzCDtQVEi0emMr78Ux-qj6X0OV3ySdubGR0yG8qTD4-xD-F7gXMEoFvnXJfPKHRvUE8mgQ6fh1zuk/s320/foto+ficerrokok.JPG" /></a><br /><div><strong>Bagaimana Memulai<br /></strong>Dalam buku Menjadi Wartawan Hebat, pada bagian bahasan “Menjadi Kaya dengan Menulis” (halaman 65-75), yang saya tulis dan tandas dalam waktu empat bulan, saya menekankan bagaimana seorang penulis itu harus sensitif dan reaktif, serta peduli.<br />Tanpa sikap demikian, Anda telat terus untuk memulai. Sensitif, jika Anda membaca suatu tulisan dan tulisan itu tentang persoalan yang Anda minanti di media massa, kenapa tidak mencoba memberikan tanggapan atas tulisan tersebut. Anda pasti berbeda pendapat, gagasan, sehingga tulisan orang yang Anda baca perlu ditanggapi. Bisa juga Anda merespon pernyataan pejabat daerah/pejabat negara. Karena itu Anda mesti menulis.<br />Reaktif, ya, ketika Anda tersengat dengan suatu persoalan/bacaan (bisa saja berita, suatu kasus di suatu daerah), misalnya tertinggi kasus kematian ibu melahirkan dan bayi di Papua, saya menulis laporan itu di Kompas, mestinya Anda mencari akar persoalannya dan menawarkan solusi. Siapa tahu gagasan Anda sebagai dokter yang penulis atau antropolog yang menulis bisa mencerahkan.<br />Atau, kalau Anda seorang dokter yang bertugas di pedalaman Papua atau Mentawai, Anda bisa menulis berdasarkan pengalaman Anda, yang tentu amat berguna bagi orang banyak (pembaca). Misalnya, kenapa dan ada apa dengan tingginya kasus kaki gajah di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.<br />Ada kasus unik, misalnya, kenapa masyarakat asli Mentawai memotong (memapat) dan meruncingkan giginya. Kenapa masyarakat papua gemar makan pinang muda dengan kapur sirih, bagaimana tinjauan kesehatannya? Sekecil apa pun pengalaman empirik Anda, kalau ditulis akan menjadi sesuatu yang bermanfaat.<br />Lalu sikap peduli. Banyak persoalan di sekitar Anda, yang menuntut Anda sebagai makhluk sosial dan punya tanggung jawab sosial dan moral untuk peduli. Turut memikirkan bagaimana masyarakat sekitar Anda bisa lebih baik pendidikannya, kesehatannya, kesejahteraannya, dan sebagainya. Kepedulian Anda tentu dengan menuliskan problema yang dialami masyarakat dan masukan apa yang bisa Anda berikan untuk pemerintah.<br />Di luar itu, Anda perlu peduli dengan hari-hari penting tertentu setiap bulan. Misalnya Hari Kesehatan Sedunia, 7 Maret. Hari Kesehatan Nasional, 12 November, Hari HIV/AIDS bulan Desember. Ada Hari TBC, dan banyak hari-hari penting lainnya. Dalam rangka itu, sepekan sebelum Anda mulailah menulis tentang itu dengan informasi terkini dan gagasan terbaru, mungkin disesuaikan dengan kearifan budaya setempat (suatu daerah). Dengan cara begini, tulisan Anda akan punya warna lain, sehingga mendapat prioritas untuk dimuat.<br />Dalam menulis, Anda bisa menjadi seorang spesialis, yang sesuai dengan kompetensi Anda. Namun, Anda bisa juga menjadi seorang penulis generalis, punya minat yang luas. Asal topik atau tema tulisan yang Anda tulis, Anda kuasai.<br />Tulisan bisa menyangkut minat/hobi tertentu atau pengalaman pribadi. Mungkin Anda menulis tentang suatu daerah/obyek wisata. Menulis pertunjukkan seni musik, teater, ballet, wayang, dan atau pameran lukisan, peragan busana, dan atau suatu kesenian tradisional yang terancam punah, dan banyak hal lainnya. Untuk hal-hal seperti minat khusus ini, tulisan Anda mesti disertai sejumlah foto-foto pendukung.<br />Dalam menulis, persoalan teknis juga tak kalah penting, di samping ide dan gagasan itu sendiri. Ketika Anda membaca suatu tulisan orang lain di media massa, mungkin Anda berkesimpulan, tulisannya sulit dipahami dan atau tulisannya membuat persoalan menjadi jernih. Duduk masalahnya dan bernas solusinya.<br />Nah, dalam menulis, Anda juga harus berupaya ke arah itu, yakni bagaimana Anda tulisan Anda bisa menjernihkan suatu persoalan yang aktual di masyarakat. Enak dibaca, mencerahkan, mencerdaskan, dan bermakna.<br />Itu artinya, Anda jangan mengulang ide-ide orang lain yang pernah ditulis. Anda harus memiliki gagasan-gagasa baru, bernas, dan cerdas. Pada sebuat tulisan artikel atau opini ada informasi, ada fakta-fakta dan dilengkapi dengan opini, ide, konsep, dan gagasan. Porsi setiap fakta, informasi, dan setiap ide harus disesuaikan dengan fngsi fakta, informasi, ide, atau pemikiran itu. Jangan ada yang melebihi takaran yang pantas dalam struktur atau desain tulisan yang Anda buat.(<strong>bersambung</strong>)</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-65315951809735701582009-12-02T01:43:00.000-08:002009-12-02T01:46:50.782-08:00Menulis, Asyik Gitu, Loh...(3)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZvA0WXEl5nMieSQXLMO8r1guKKOn6libIgrnru8dJURAuRsn-oJqOzHtzMcGm5drc0gEfPESNUSouObLNVvlyYbj_SdbTS1MY-YmrCGxpt8qv3xGD1Jv1YI1UXqd5O-kEaa119FVXFrJW/s1600-h/P6240211.JPG"><img style="MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; FLOAT: right; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410572914609311426" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZvA0WXEl5nMieSQXLMO8r1guKKOn6libIgrnru8dJURAuRsn-oJqOzHtzMcGm5drc0gEfPESNUSouObLNVvlyYbj_SdbTS1MY-YmrCGxpt8qv3xGD1Jv1YI1UXqd5O-kEaa119FVXFrJW/s320/P6240211.JPG" /></a><br /><div><strong>Menjadi Penulis</strong><br />Bagaimana menjadi penulis profesional itu? Dalam berbagai kesempatan ketika saya menjadi instruktur jurnalistik dan kepenulisan saya acapkali dihadapkan pada pertanyaan ini. Jawabannya gampang banget, segampang menulis itu sendiri. Kuncinya membaca, membaca, membaca, dan menulis, menulis, dan teruslah menulis.<br />Anda mungkin pernah mengeluh tak ada ide menulis. Yang namanya ide, tak akan datang tiba-tiba dengan sendirinya. Tak selalu datang ketika Anda lagi merenung di toilet, misalnya. Ide itu harus dicari, digali, dan ramulah menjadi gagasan menarik. Membaca, tak sebatas membaca buku-buku atau membaca teks-teks tertulis. Akan tetapi, menurut saya, juga membaca lingkungan, fenomena apa yang tengah terjadi. Membaca pengalaman, juga tidak kalah pentingnya, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.<br />Mungkin, ketika Anda berada di atas bus/mobil dalam suatu perjalanan, Anda pasti menemui banyak ide. Bisa di atas kerea api, pesawat terbang, atau jalan keliling kampung dengan sepeda. Bahkan, jika Anda jalan kaki, selangkah-dua langkah dari rumah Anda, Anda bisa mendapati ide yang menarik untuk ditulis. Jangankan itu, dalam genggaman Anda sekarang, pada telepon seluler Anda, ide-ide bersiliweran. Dalam satu-dua menit surfing di internet, satu-dua ide pun bisa didapatkan.<br />Puluhan ide, gagasan, terserak di mana-mana.Yang peting dari semua itu, bagaimana mengasah kepekaan hati nurani. Seorang penulis pasti punya naluri, daya cium persoalan, pengamatan, dan rasa keingintahuan. Jika Anda menemukan ide, persoalan menarik, pasti Anda tergugah ingin menulisnya?<br />Lalu, pertanyaannya Anda berikutnya, jika tertarik, bagaimana menuliskannya?<br />Ide yang ingin Anda tulis, inapkan atau endapkan dulu (bisa hitungan jam, hari, minggu), lalu perkaya ide Anda itu dengan hasil bacaan atau penelitian atau pengalaman empirik Anda. Agar tidak kelewatan isu atau keaktualan, maka tulislah secepatnya.<br />Prinsip yang perlu Anda pegang, seperti motto PT Semen Padang, pabrik semen tertua di Indonesia, yang sudah berusia 100 tahun, yaitu “Kami telah berbuat sebelum Anda memikirkannya”. Artinya, Anda sudah menulis sebelum penulis lain menuliskan gagasan serupa. Apalagi kalau dalam tulisan Anda membuat istilah yang baru, gagasan baru, maka Anda pasti dikenal dan dikenang banyak orang.<br />Misalnya, bagaimana Saldi Isra menulis istilah “tebang pilih” dalam penanganan kasus korupsi sebagaimana ia tulis di KOMPAS, lalu istilah itu kemudian menjadi popular. Setelah itu, Saldi juga menulis bagaimana tersangka kasus korupsi itu pakai baju khusus, tidak berdasi duduk di kursi pesakitan. Sebagai hukuman sosial, ia diharuskan pakai baju terdakwa atau diberi tulisan. Gagasan ini kemudian diimplementasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan didukung banyak elemen masyarakat.<br />Begitulah enaknya jadi penulis. Banyak peluang-peluang ikutan yang bisa diraih setelah itu. Sering menulis, kita punya nama. Karena punya nama, kita diperhitungkan dan punya nilai jual untuk jadi pembicara seminar, penulis kolom, pengasuh rubrik, komentator, menjadi tim ahli, dan lain sebagainya. Jam terbang kita, kalau menjadi seorang penulis, akan lebih tinggi. (<strong>bersambung)</strong></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-66829769428164093522009-12-02T01:36:00.000-08:002009-12-02T01:41:31.609-08:00Menulis, Asyik Gitu, Loh...(2)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHJCv3AOCu0HRJXRPmXjBQ-zVlZ0kWNekOahQODsmX_rNrnhX4vTn8YVLbLzMBnyac4rpJCn2EmbMK-9MNVw68f_bjaAk2Es7nKPfsBLd5wZxZ7eF09KsTZNeW59IufBJiF51ggP0w1twD/s1600-h/P6080015.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410571567617323122" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHJCv3AOCu0HRJXRPmXjBQ-zVlZ0kWNekOahQODsmX_rNrnhX4vTn8YVLbLzMBnyac4rpJCn2EmbMK-9MNVw68f_bjaAk2Es7nKPfsBLd5wZxZ7eF09KsTZNeW59IufBJiF51ggP0w1twD/s320/P6080015.JPG" /></a><br /><div><strong>Menebar Ilmu dan Amal<br /></strong>Dalam testimonial yang saya berikan untuk buku Cara Mudah Membangkitkan Gairah Menulis (penerbit Citra Budaya Indonesia, Oktober 2007) yang ditulis teman saya, Waitlem, saya mengatakan, “Menebar ilmu dan amal dengan menulis sudah saatnya dimulai dari sekarang. Sekali lagi, dari sekarang. Penulis tidak saja semakin dikenal dan kaya secara finansial, tetapi akan punya jejak yang panjang dan meneruka sejarahnya sendiri”<br />Ya, mulailah dari sekarang menulis. Malu dong, sudah sarjana, magister, dan/atau doktor, dan profesor, tak bisa memberikan kontribusi pemikiran, gagasan, untuk kemaslahatan orang banyak. Dan untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan pembangunan di negeri ini.<br />Karena Anda punya kompetensi di suatu bidang (atau mungkin beberapa bidang) keilmuan, maka dengan menjadi penulis sebenarnya Anda berarti telah menebarkan atau nemularkan ilmu dan pengalaman yang Anda miliki. Kalau ilmu dan pengalaman yang Anda tulis diambil manfaatnya bagi pembaca, maka secara tidak langsung Anda telah beramal.<br />Amal itu anggap saja suatu sedekah, sehingga sepanjang pembaca memetik manfaat dari apa yang Anda tulis, Anda gagas, maka mudah-mudahan sepanjang itu pula pahala yang Anda dapatkan dari Allah SWT. Sedekah tidak identik dengan memberikan sejumlah uang, lho! Bisa juga pemikiran.<br />Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS Al Hajj{22}:50).<br />Pada surat An-An’am, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) 10 kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS An-An’am {6}: 160).<br />Karena itu, barangkali, ada benarnya juga orang-orang yang menulis dikaruniai Allah SWT umur panjang. Tidak pikun, tidak stres sehat fisik dan finansial. Banyak penulis yang sekarang kita kenal, usianya di atas rata-rata dibanding yang bukan penulis. Untuk menyebut beberapa contoh, seperti Rosihan Anwar, usianya sudah 87 tahun. Beliau masih tageh, pikirannya masih jernih, ingatannya tajam. Hari Senin, 2 Maret 2009, masih bisa memberikan pemikiran tertulis sepanjang 14 halaman dalam diskusi tentang 100 Tahun Sutan Sjahrir. Begitu juga Pemimpin Umum KOMPAS, Jakob Oetama, yang kini sudah berusia 78 tahun.<br />Sepajang tahun 2009 hingga bulan Februari, setidaknya saya menghadiri undangan peluncuran dan bedah buku, memperingati usianya yang sudah 70 tahun, seperti Harmoko, Atmakusumah Sastraatmadja, Panda Nababan. Juga buku Syofyan Lubis (68).<br />Kenyataan yang tidak bisa dibantah; menulis itu membuat sehat pikiran, sehat badan, sehat finansial, dan tentu saja menjadi orang yang diperhitungkan, serta banyak amal. Amin. (<strong>bersambung)<br /></strong></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-46080804243177996812009-12-02T01:22:00.000-08:002009-12-02T01:35:15.354-08:00Menulis, asyik gitu, loh...(1)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvsWmbb-HraJ5YjKIVEDDv35rKH35U9SrFkVdrPI_Qv-BIM5ks4nVAscAycd8kv0vfrT58vqhFwic07IU6Ug3HeOlw_6ohj2BTcoz71wO2wajCByxMhQw4KeqE3y534icJut9TOAjX4Hdw/s1600-h/PC021571.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410569652953825618" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvsWmbb-HraJ5YjKIVEDDv35rKH35U9SrFkVdrPI_Qv-BIM5ks4nVAscAycd8kv0vfrT58vqhFwic07IU6Ug3HeOlw_6ohj2BTcoz71wO2wajCByxMhQw4KeqE3y534icJut9TOAjX4Hdw/s320/PC021571.JPG" /></a><br /><div><br /><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><b><span style="font-size:26;"><span style="font-family:Times New Roman;">Menulis, Asyik <i>Gitu, Loh</i>!<?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" /><o:p></o:p></span></span></b></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-size:26;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-size:20;"><span style="font-family:Times New Roman;">Yurnaldi<o:p></o:p></span></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><a href="mailto:nalkompas@yahoo.com"><span style="font-family:Times New Roman;">nalkompas@yahoo.com</span></a></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Penulis buku best seller <i>Menjadi Wartawan Hebat</i></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="mso-tab-count: 1"><span style="font-family:Times New Roman;"></span></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><b>Pernahkah</b> Anda bermimpi dan membayangkan, suatu ketika Anda ditelepon sebuah perguruan tinggi, dan/atau organisasi profesi, dan/atau badan/lembaga/instansi pemerintah untuk jadi pembicara dalam suatu forum diskusi, seminar, atau apa pun namanya yang sejenis dengan itu?</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Pernahkah Anda bermimpi dan membayangkan, suatu ketika Anda dihubungi redaktur opini media cetak, dan Anda diminta untuk menuliskan pandangan dan gagasan Anda tentang sesuatu yang lagi hangat-hangatnya, menjadi isu yang “seksi”, jadi buah bibir banyak orang?</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Pernahkah Anda bermimpi “dikejar-kejar” kepala pusat pemberitaan dan/atau wartawan televisi, meminta kesediaan Anda jadi narasumber atau komentator pada suatu acara yang disiarkan secara langsung?</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Pernahkah Anda bermimpi, di telepon seluler Anda akan masuk bertubi-tubi puluhan pesan pendek (SMS) yang mengapresiai dan/atau memuji buah pemikiran dari yang Anda tulis di suatu media cetak?</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Dan sekali lagi, pernahkah Anda bermimpi, buku yang Anda tulis –kumpulan artikel yang pernah diterbitkan media massa, menjadi <i>best seller</i> di toko buku dan diresensi banyak pembaca?</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Kalau pernah, berarti Anda benar-benar ingin jadi penulis. Niat jadi penulis sudah merupakan modal dasar yang sangat bernilai bagi Anda. </span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Kalau tidak pernah mimpi seperti itu, bersiaplah Anda jadi orang yang tak dianggap. Bersiaplah jadi orang yang tidak diperhitungkan. <i>Aih</i>…, malu nian jadi <i>mantimun bungkuak</i>, kata orang Padang. Sebab, itu sama saja <i>o-on</i>, kata anak-anak sekarang.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Betapa banyak, dari jutaan sarjana, magister, dan doktor, bahkan bergelar profesor di Indonesia, sampai hari ini tidak pernah menulis artikel di media massa atau tulisan ilmiah popular di jurnal-jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. Menulis skripsi, tesis, atau disertasi tak ubahnya menulis untuk yang terakhir kalinya.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Kalau ditanya, kenapa tidak menulis di surat kabar? Seribu satu alasan kemudian mengemuka jadi jawaban. <i>Kacian, deh lho!</i></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:78%;">=====</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="font-size:78%;">**)Pokok-pokok pikiran yang disampaikan pada Seminar Jurnalistik bertema Publish Your Mind, Munas/Mukernas Badan Pers Nasional-Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia, di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, 7 Maret 2009<o:p></o:p></span></span></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;font-size:78%;"></span></o:p></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /><p style="TEXT-INDENT: 0.5in; MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Mimpi-mimpi yang diungkapkan tadi akan jadi kenyataan pada diri seorang penulis. Ya, pada seorang penulis semua yang tak mungkin, menjadi mungkin. Bahkan, akan banyak hal-hal yang tak terduga, misalnya, popularitasnya bisa menyamai atau melebihi popularitas para selebiritas. Makanya, jangan heran, penulis itu, suatu ketika, juga bak selebritas. Punya fans dan punya pengagum. <i>Olala</i>, keren!</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Atau sebaliknya, agar tidak menjadi selebritas kebanyakan, tapi selebritas yang diperhitungkan, maka ia kemudian juga menjadi seorang penulis. Setidak-tidaknya, ia bisa dicap sebagai selebiritas yang mumpuni, selebritas yang cerdas-cendekia.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Begitu juga Anda. Dengan menjadi mahasiswa yang penulis atau dosen yang penulis, atau dokter yang penulis kelak, sekurang-kurangnya Anda telah menjadi mahasiswa, dosen, dokter yang diperhitungkan di dalam dinamika pemikiran tentang gagasan dan atau solusi dari persoalan kekinian secara regional, nasional, bahkan internasional.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Dengan demikian, Anda tidak hanya membuat pencitraan tentang diri Anda menjadi lebih baik dan diperhitungkan, tetapi juga berdampak pada pencitraan terhadap profesi, lembaga, dan organisasi di mana Anda berkiprah.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Siapa yang tak bangga, identitas di akhir suatu artikel yang Anda tulis, diterakan; misalnya, “<i>Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang</i>”. Atau, “<i>Handrawan Nadesul, Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku”. <o:p></o:p></i></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Kebanggaan akan menjadi bertambah, karena tiba-tiba di rekening Anda ada kiriman honorarium dari tulisan yang Anda tulis. Ternyata, menulis juga menyehatkan secara finansial. Mungkin besarannya tidak sebesar penghasilan dari profesi Anda menjadi seorang dokter, misalnya. Akan tetapi, nikmatnya dapat honorarium, terlepas besar-kecilnya, merupakan kebahagiaan yang tiada tara.</span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="mso-tab-count: 1"></span>Ada juga, walaupun kegiatan menulis sebagai kegiatan sampingan, namun hasilnya bisa melebihi pendapatan dari pekerjaan utama. Seorang dosen, jika ia juga penulis artikel, maka honorarium yang ia terima bisa 2 sampai 4 kali lipat dari gajinya sebagai dosen. Satu tulisan, imbalannya bisa angkanya tujuh digit. <em>Onde mande!</em> <strong>(bersambung)<o:p></o:p></strong></span></p><br /><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"></span></o:p></p><br /></div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7849256207821271515.post-71236890468871369192009-12-02T00:38:00.000-08:002009-12-02T01:07:17.341-08:00Mencoba ikut lomba<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisopWXF8bnh3MbiYVUAXDEyzCCmoUM2Bi0JoqChp8nXm8LGdcG958Fxupe1nHXKI5KGp2RiWZFWcRbReRxvr46ikLAFIuMZWCE0mAxQyvQ1zJkjHmsfPi2AM67czamBh4oHLx76xzelHCH/s1600-h/PC020192.JPG"><img style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; FLOAT: left; HEIGHT: 240px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410560173272989042" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisopWXF8bnh3MbiYVUAXDEyzCCmoUM2Bi0JoqChp8nXm8LGdcG958Fxupe1nHXKI5KGp2RiWZFWcRbReRxvr46ikLAFIuMZWCE0mAxQyvQ1zJkjHmsfPi2AM67czamBh4oHLx76xzelHCH/s320/PC020192.JPG" /></a><br /><div>Kesempatan tidak selalu ada. Di balik kesempatan itu sebenarnya ada peluang. Ya, kalau ada kesempatan lomba, yakin ada peluang juara. Saya tidak terlalu sering ikut lomba dan ngotot harus ikut. Pengalaman selama ini, ikut lomba kalau lagi ada ide dan gagasan. Dan anehnya, saya selalu ikut --mengirimkan karya, pada saat atau menjelang lomba ditutup.</div><br /><div>Baik lomba foto maupun lomba tulisan, serta lomba cipta puisi, dan lomba karikatur. Setiap lomba itu, selalu ada keyakinan "pasti menang", terserah juara berapa. Pokoknya optimistis. Dan ternyata, hasilnya tak sia-sia benar. Boleh dikata, 90 persen lomba yang diikuti, pasti salah satu gelar juara saya raih. Ya, alhamdulillah.</div><br /><div>Ada juga yang tak diikutsertakan, maksudnya tidak sengaja dikirim, kecuali hasil pantauan panitia lomba, tiba-tiba terpilih juga jadi juara. Terakhir, tulisan saya di kompas.com tentang gizi (judul <em><strong>Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia</strong></em> (tayang 11 Agustus 2008, di rubrik kesehatan/ibu dan anak) terpilih sebagai tulisan terbaik versi PT Nestle Indonesia. Ya, alhamdulillah.</div><br /><div>Baru-baru ini, sehari menjelang penutupan lomba artikel bertema "Ciptakan Bumi yang Lebih Baik" yang diadakan Mal Ciputra, saya kembali menjajal kehebatan dan kekuatan gagasan. Tulisan yang saya buat berjudul "Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan". </div><br /><div>Surat undangan dari panitia untuk menghadiri pengumuman pemenang hari Jumat, 4 Desember 2009, hari Rabu (2/4) sudah di tangan. Sedari awal, saya yakin meraih juara. Semoga prediksi saya tidak meleset. Boleh, toh, punya keyakinan seperti itu? Itu bukan sebuah kesombongan, tapi percaya diri. Ya, itulah modal yang selama ini dan sampai kapan pun, saya punyai dan jadi motivasi menjalani profesi sebagai penulis dan wartawan.</div><br /><div>Saya janji, kalau juara, tulisannya akan saya tampilkan kelak. </div><br /><div></div><br /><div>Jakarta, 2 Desember 2009</div>yurnaldihttp://www.blogger.com/profile/16765328763233285010noreply@blogger.com0