Senin, 08 Februari 2010

Yurnaldi, "Wartawan Hebat" di Redaksi Kompas







Oleh: Muhammad Subhan



(Catatan: profil ini telah dimuat di majalah "Rantau" oleh penulisnya)






Bagi kalangan wartawan senior dan pemula di Sumatera Barat, kota Padang khususnya, bisa dibilang tak ada yang tidak mengenal sosok wartawan kalem ini. Siapa lagi kalau bukan Yurnaldi, wartawan Harian Kompas yang sejak beberapa tahun lalu ditarik ke kantor pusatnya di Jakarta untuk memperkuat jajaran redaksi harian terbesar di Indonesia itu. Baginya, dapat hijrah ke ibukota merupakan sebuah prestasi luar biasa.



Alumni Universitas Negeri Padang (UNP) ini seringkali memotivasi wartawan maupun penulis pemula dalam setiap kesempatan bersamanya, baik melalui seminar kepenulisan maupun dalam diskusi-diskusi nonformal di kampus. Baginya, semua orang memiliki potensi menulis yang luar biasa, tinggal saja mau tidaknya mengasah potensi itu.



“Setiap kita pasti ingin meraih sesuatu prestasi. Prestasi, memang, tak selalu identik dengan meraih gelar juara. Dari tidak lihai, menjadi lihai menulis, itu sudah prestasi. Dari belum pernah dimuat di media nasional, lalu tiba-tiba bisa tembus media nasional, juga prestasi yang membanggakan bagi penulisnya,” ujar Yurnaldi dalam kesempatan berbincang-bincang dengan “Rantau” beberapa waktu lalu.



Atau, katanya lagi, dari yang semula takut dan tak berani menulis buku, tiba-tiba bersemangat menulis buku dan terbit, ini juga prestasi yang sangat luar biasa. Bagi wartawan, kata Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama yang dikutip Yurnaldi, buku adalah mahkota wartawan. “



Artinya, kehebatan tertinggi seorang wartawan tak hanya bisa sekadar menulis berita, menulis feature, atau menulis kolom dan artikel. Akan tetapi, juga mampu menulis buku,” ujarnya.



Sebelum bergabung dengan Kompas, Yurnaldi memang sudah menulis buku. Hebatnya, dua buku tentang jurnalistik itu ia tulis semasa ia masih mahasiswa, yang kemudian menjadi modal utamanya untuk melamar dan bergabung dengan harian terkemuka itu.



“Kompas memang target saya sejak jadi mahasiswa. Ibaratnya, saya ingin membuktikan kemampuan saya dalam hal menulis. Karena banyak dosen, hingga rektor waktu itu, menilai saya sangat layak di Kompas,” ujarnya sambil tertawa.



Apa yang dikatakan Yurnaldi tidak sekedar guyon. Memang para dosennya menilai begitu, karena artikel-artikel yang ia tulis waktu mahasiswa, layaknya pemikiran seorang doktor. “Hehe… Ya, terserah mereka menilai. Tapi, setidaknya, dalam beberapa kali lomba karya ilmiah di kampus dan tingkat regional, saya berdebat dengan profesor dan doktor,” ujarnya mengenang.



Di luar itu, banyak ide Yurnaldi yang kemudian diwujudkan. Waktu ia mahasiswa, ia pernah mengusulkan agar IKIP Padang memiliki Rektor IV, yang membidangi kerjasama dalam dan luar negeri. Akhirnya, ide ini dilaksanakan, tapi bukan dalam bentuk lembaga Pembantu Rektor IV–melainkan Lembaga Kerjasama, yang tugas, fungsi dan wewenangnya seperti yang saya usulkan.



“Juga pernah saya gagas IKIP menjadi Universitas, dan untuk mendidik calon guru cukup ada fakultas keguruan dan ilmu kependidikan (FKIP). Ini dalam bentuk karya tulis ilmiah, berdebat dengan pakar pendidikan yang jadi juri, dan akhirnya menang. Ide ini kemudian juga jalan,” katanya lagi.



Bahkan, karena dirinya kuliah di pendidikan kimia FPMIPA, dia juga pernah menulis sesuatu yang menghebohkan. Yurnaldi menulis tentang kiamat yang ditinjau dari ilmu kimia. Tulisan itupun diseminarkan di kampus serta di muat di media massa.



“Jadi, sebelum heboh kiamat 2012 sekarang, saya sempat meramal kiamat yang tahunnya 2040. Rasanya, mau saya bukukan juga pemikiaran itu,” ujarnya.



Memang, menurut Yurnaldi, sangat enak melontarkan gagasan melalui kegiatan menulis artikel atau opini, dibaca banyak orang, dikomentari, dan diam-diam ada yang melaksanakan.









Sejak Mahasiswa Gemar Menulis



Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal), sejak mahasiswa sudah gemar menulis artikel di puluhan media cetak daerah dan nasional. Biaya kuliah dan biaya hidup dibiayai dari honorarium penulis, yang pada masa itu honor setiap bulan yang ia terima melebihi gaji para dosennya.



Juga pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang). Beberapa kali juara menulis karya ilmiah dan belasan kali jadi pembicara seminar di tingkat daerah, regional, dan nasional.



Ia mahasiswa pertama di Sumatera Barat yang menulis dua buku ketika masih berstatus mahasiswa. Buku yang ditulis ketika itu adalah “Kiat Praktis Jurnalistik” dan “Jurnalistik Siap Pakai”. Buku tersebut hingga kini dicetak ulang dan jadi referensi mahasiswa komunikasi.



Sejak mahasiswa, tahun 1986, di samping penulis artikel, juga menulis karya jurnalistik. Menekuni dunia kewartawanan sejak 24 tahun lalu, di mana 15 tahun terakhir bergabung dengan Kompas. Dia juga salah seorang pendiri (dan pencipta logo) Forum Wartawan Peduli Aset Daerah Sumatera Barat, Padang Press Club (PPC), dan Forum Wartawan Peduli Pariwisata Sumatera. Bergabung dengan Kompas tahun 1995.



Sebagai wartawan profesional, Yurnaldi telah melatih ribuan calon wartawan, wartawan, staf/kepala kehumasan, serta siswa dan mahasiswa peminat bidang jurnalistik. Buku-buku jurnalistiknya laris dan menjadi referensi, antara lain “Kiat Praktis Jurnalistik” (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), “Jurnalistik Siap Pakai” (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), “Menjadi Wartawan Hebat” (Citra Budaya Indonesia, 2004, 2008). Foto Jurnalistik: “Menjadi Kaya dengan Foto” (2001, 2009).



Juga belasan buku-buku lain, baik yang ditulis sendiri maupun terhimpun dalam berbagai buku yang ditulis bersama wartawan Kompas dan wartawan media cetak lain. Beberapa kali karyanya memenangkan lomba karya jurnalistik dan juara satu mengarang tingkat nasional. Karya jurnalistiknya tentang PLN pernah mendapat penghargaan dari Menteri Pertambangan dan Energi. Tanggal 3 Maret 2009, karya jurnalistiknya tentang gizi/kesehatan yang dimuat di Kompas.com, memperoleh penghargaan terbaik dari PT Nestle Indonesia.



Selama di Kompas pernah bertugas dalam hitungan tahun di Bandarlampung (Lampung), Palembang (Sumatera Selatan), dan Padang (Sumatera Barat). Dan tugas sementara di sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri, seperti Republik Namibia, Republik Afrika Selatan, Botswana, Inggris, Singapura, Malaysia, Thailand. Bersama Sastrawan Hamsad Rangkuti, diundang mengikuti Pertemuan Penulis Dunia dan London Book Fair, 2004.



Di luar profesi wartawan, Yurnaldi juga dikenal sebagai sastrawan/penyair Indonesia. Antologi tunggal yang telah terbit “Berita kepada Ibu” (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat nasional di Banda Aceh tahun 1996.



Puisi-puisinya selain dimuat di berbagai media massa nasional, juga terhimpun dalam antologi bersama penyair Indonesia lain, yakni “Rantak 8: Antologi Puisi Penyair dari Sumatera Barat” (Kelompok Studi Sastra dan Jurnalistik Padang-Sumatera Barat, 1991), “Taraju ‘93: Kumpulan Puisi Indonesia Sumatera Barat” (Yayasan Taraju Ekspresi Budaya, 1993), “Antologi Puisi Rumpun” (Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat dan Departemen Pendidikan Nasional, 1992), “Puisi 1999 Sumatera Barat” (Dewan Kesenian Sumatera Barat, 1999), “Parade Sajak-sajak Indonesia” (Haluan, 1994), “Puisi 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Taman Budaya Solo, 1995), “Kumpulan Puisi Jalan Bersama” (Yayasan Panggung Melayu, 2008).



Sebagai penyair ia sering dipercaya menjadi juri lomba cipta puisi dan lomba baca puisi. Terakhir salah seorang juri “Tarung Penyair Panggung” di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 27 Agustus 2008. Juga salah seorang juri pemberian nama Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Sumatera Barat. Sering juga diundang membaca puisi di berbagai kota. Terakhir baca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam acara “Baca Puisi Jalan Bersama” yang digelar Yayasan Panggung Melayu, 30 November 2008 dan dalam “Panggung Revitalisasi Budaya Melayu”, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Desember 2008.



Namanya juga tercantum dalam “Leksikon Susastra Indonesia” (penyusun Korrie Layun Rampan, Penerbit Balai Pusataka, 2000). Pernah juga menjadi redaktur tamu dan memberikan catatan apresiatif puisi di harian Haluan, Padang, selama satu tahun.



Selain dikenal sebagai penyair, Yurnaldi juga dikenal sebagai seniman: sebagai pelukis, kaligrafer, fotografer dengan berpameran beberapa kali dan meraih sejumlah prestasi. Beberapa kali juara dan jadi juri lomba foto. Juga juara dan juri lomba karikatur tingkat nasional.



Mantan Pengurus Harian Dewan Kesenian Sumatera Barat (periode 2005-2007), Koordinator Penggiat Sastra Padang, Pemimpin Produksi Teater Noktah Padang, yang telah mementaskan lebih 20 kali naskah teater dengan sutradara Suhendri dan Lilik. []
Diposkan oleh PENA MUHAMMAD SUBHAN di 21:43
Label:















Anak-anak Bermain Tanah, Akhirnya Jadi Keramik Lucu…

Oleh YURNALDI

Sekarung tanah liat, Minggu (10/1) di Pasar Seni Ancol, Jakarta, jadi rebutan puluhan anak. Untung saja mereka tak saling berkelahi. Mereka tertib dan antre mengambil tanah liat seperlunya. Lalu mengambil posisi duduk di bangku-bangku panjang yang disediakan.
Tangan anak-anak yang mungil itu semula tampak kaku. Belum jelas benar tanah itu mau diapakan. Ada yang menggulung tanah, ada yang memipihkannya, ada pula yang mencoba menaruhnya di meja berpusing mekanik dan atau elektrik. Lambat-laun mereka seperti telah menyelesaikan sesuatu.
Mereka berhasil mengeksploitasi tanah liat menjadi karya seni. Ada vas bunga berbentuk kepala orang. Ada teko, ada bunga, dan banyak bentuk lainnya. Unik dan menarik. Sulit menghentikan mereka. Selesai satu keramik, mereka buat lagi bentuk lain. Baju kotor dengan tanah liat, mereka tak hirau. Anak-anak seperti menemukan minat barunya.
“Aku suka melukis, tapi membuat keramik baru kali ini mencoba. Senang dan mengasyikkan,” kata Aura Nabila Yuranda, murid kelas IV SDI Al-Azhar Kembangan. Dalam tempo setengah jam, selesai membuat vas bunga bergambar kepala orang.
Kakaknya, yang duduk di bangku kelas VII SMP Al Azhar, Kembangan, juga membuat keramik menurut kata hatinya sendiri. Sejumlah anak-anak yang lain asyik mengerjakan keramik, setelah terus dimotivasi seniman keramik senior Sri Hartono (75).
“Ayo anak-anak….jangan meniru. Buatlah bentuk sesuka hatimu….hasilnya pasti bagus,” ujar Sri Hartono.
Mendengar itu, anak-anak jadi semangat. Anak-anak lain yang semula belum berani membuat keramik, akhirnya mencoba mengambil sebongkah kecil tanah liat dan duduk di kursi. Ditemani orangtuanya, anak-anak terlihat begitu mandiri. Berani. Umumnya, mereka buat keramik adalah untuk kali pertama.
Juru bicara Ancol Taman Impian, Nicke Putri mengatakan, membuat keramik untuk kalangan yang berminat, terutama anak-anak, di Pasar Seni Ancol sebagai rangkaian Pameran Keramik Internasional bertajuk Jakarta Contemporary Ceramic Biennale yang Pertama, di North Art Space (NAS).
“Kami tak mengira, anak-anak begitu antusias ingin mencoba dan ternyata ia bangga dengan kreasi keramiknya sendiri. Mungkin ini salah satu jalan untuk meningkatkan apresiasi terhadap seni keramik,” ujar Nicke, yang anak semata wayangnya juga asyik membuat keramik.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Budi Karya Sumadi mengatakan, pameran keramik dan workshop keramik untuk menggalakkan apresiasi seni keramik.
“Besar harapan kami, Biennale keramik kontemporer bisa menggugah dan mendorong karya cipta keramik, baik dalam konteks perkembangan seni rupa, perkembangan industri kerajinan, maupun pengenalan kepada anak-anak,” jelasnya.
Pameran keramik berlangsung hingga tanggal 20 Januari mendatang. Hari Minggu (17/1) mendatang, anak-anak bisa membuat keramik lagi di Pasar Seni Ancol.

Julius Pour Membuat Orang Bertanya-tanya dan Tertawa

Oleh YURNALDI


Mendapat undangan dari KRT Soegito Hadipoera & Istri untuk peluncuran buku Doorstood naar Djokja Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (Penerbit Kompas, Desember 2009), Senin (21/12) di Hotel Santika, Jakarta, tetamu pada mulanya bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengundang. Soalnya, foto pengantin yang ada pada undangan, sekilas wajahnya dikenal, tapi namanya lain.
Pertanyaan baru terjawab ketika si penulis buku, Julius Pour, memberikan sambutan. “Saya memakai nama dan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Soegito Hadipoera untuk ikut memuliakan Praja Soerakarta Hadiningrat, Susuhunan Pakoe Boewono XII, yang tahun 2005 berkenan menganugerahkan nama dan gelar tersebut,” katanya.
Nama baru karena istri baru? Ya, mungkin saja, karena acara peluncuran buku sekaligus syukuran pernikahan Julius dengan Yovita Julianiwati. Sang istri baru, setelah didesak pembawa acara, baru diperkenalkan kepada tetamu. Yovita Julianiwati yang kemudian berdiri dari tempat duduk di deretan depan, terlihat tersenyum anggun kepada tetamu.
“Persis sebulan lalu, tanggal 21 November, pukul 11.00 siang, di gereja Santa Maria Imaculata, Banyumas, wilayah Keuskupan Purwokerto, Romo Nico Ola OMI, dibantu oleh Romo Tarsisius Aris OMI, telah menerimakan sakramen pernikahan kepada Yovita Agnesia Yulianiwati dan Julius Purwanto,” ungkap Julius, bangga.
Setelah tanya terjawab, penulis buku terkemuka dengan jabatan terakhir Asisten Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia ini, tatkala memberikan sambutan, membuat tamu tertawa. Berkali-kali.
“Hari ini, Senin 21 Desember tahun 2009. Dengan demikian, bagi kita semua sebenarnya hanya tinggal tersisa waktu selama tiga tahun. Sebab pada tanggal ini, di tahun 2012 nanti, dunia sudah bakal kiamat. Begitulah menurut perhitungan kalender suku Maya. Sungguh beruntung, kita tidak memakai kalender Maya, melainkan memakai penanggalan Masehi,” ujarnya.
Belum habis tawa tetamu, Julius melanjutkan. “Menurut penanggalan Masehi, kelahiran saya tercatat dalam tanggal 20 Desember. Dengan demikian, saya berada dalam naungan rasi bintang Sagitarius. Sehingga dalam perhitungan astrologi, hanya ada dua pekerjaan yang bisa cocok, sebagai ahli kitab dan yang lain, menjadi penulis buku.”
“Semula saya memang ingin jadi ahli kitab, menjadi pemimpin agama. Tetapi, mungkin karena roh kudus tidak mendukung, keinginan tersebut tidak pernah tercapai. Sagitarian yang berhasil menjadi ahli kitab adalah Kardinal Julius Darmaatmadaja, Uskup Jakarta. Kami dilahirkan pada tanggal yang sama, dengan Santo Pelindung sama. Namun perjalanan selanjutnya terbuktui jauh berbeda,” ujarnya.
Lagi-lagi tetamu tertawa.
Tentang buku Doorstoot naar Djokja yang diluncurkan, menurut Julius, peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu pagi 19 desember tahun 1948, sewaktu pasukan Belanda secara mendadak, melancarkan agresi militer ke Djokja, Ibu Kota Republik Indonesia.
“Secara pribadi peristiwa tersebut mengubah nasib saya dan banyak orang lain. Waktu itu saya tidak jadi dirakayaj ulang tahunnya, oleh karena pesawat terbang Belanda membom pasar Delanggu, sehingga kami terpaksa mengungsi ke Jatinom, di lereng Gunung Merapi,” Julius menjelaskan.
Kembali tetamu tertawa. Tak terkecuali Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama dan Letnan Jenderal (Purn) Himawan Sutanto, mantan Panglima Siliwangi dan mantan Kepala Staf Umum ABRI.

Ciputra, tak Lelah Beramal




Ciputra, tak Lelah Beramal




olwh Yurnaldi

Semakin tua, semakin sibuk, tak membuat Ciputra (78) kelelahan. Dari hari ke hari waktunya lebih banyak untuk memaparkan gagasan, menebarkan virus entrepreneurship. Semangat kewirausahaan. Tampil dalam berbagai seminar dari pergutuan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.
“Ini masanya untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan anak bangsa, menjadi semakin lebih baik,” ujarnya, Jumat pekan lalu, di sela-sela menunggu Menko Kesra Agung Laksono.
Beramal dengan gagasan , dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat ia mendapatkan lebih banyak dari apa yang ia berikan. Setidak-tidaknya karunia kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman, gagasan.
“Sudah sejak tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya,” ungkap Ciputra.
Sore itu, Raja Properti Indonesia tersebut selain memaparkan latar belakang gagasannya, juga menghadiahi Agung Laksono buku Ciputra Quantum Lead, Entrepreneurship mengubah masa depan Bangsa dan masa depan Anda.
Menurut Ciputra, pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, maunya Ciputra harus ada gerakan nasional bersama untuk ini. Dari 2.850 perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100 hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian Entrepreneur Centre.
Ciputra sempat menyarankan adanya Hari Entrepreneurs, Agung Laksono mendukung sekali dan akan dicarikan tanggal dan bulannya kapan.

Setengah Hati untuk Kebudayaan







Setengah Hati untuk Kebudayaan

Oleh YURNALDI

Entah sampai kapan ada titik temu untuk menyatukan visi kebudayaan bangsa ini. Perdebatan dan gugatan seperti tak pernah henti-hentinya. Akan tetapi, sejarah mencatat, pertengkaran seputar kebudayaan mengawali pembentukan nasion Indonesia. Ini bukan kisah balik untuk pertengkaran itu, yang diawali sejak puluhan tahun lalu.
Kita cermati saja kebudayaan sebagai mana yang kita tangkap dalam kondisi kekinian. Jangan ungkit-ungkit lagi harapan-harapan yang disampaikan para seniman, cendekiawan, dan budayawan kepada calon presiden ketika kampanye, yang kemudian dialas dengan kalimat; “…akan dipertimbangkan” oleh calon presiden.
Atau jangan sebut-sebut lagi rekomendasi Kongres Kebudayaan terakhir di Bogor beberapa waktu lalu, yang mengusulkan kebudayaan menjadi departemen sendiri. Usulan serupa juga dikemukakan dalam kongres-kongres sebelumnya. Namun gagasan tersebut tetap belum diterima oleh Presiden.
Dalam kabinet Indonesia Bersatu kedua, walau masalah kebudayaan tetap diurus oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan oleh orang yang sama, (baca Jero Wacik), namun induk semangnya sudah berganti. Tidak lagi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, tetapi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian.
Sepertinya masalah kebudayaan mengerucut pada dimensi ekonomi. Kondisi seperti ini kemudian melahirkan pesimisme di kalangan pemikiran kebudayaan. Kebudayaan yang sejatinya adalah pengembangan segenap potensi manusia terpaku pada satu potensi. Potensi kerja seakan-akan dikembangkan habis-habisan guna menggenjot laba. Semua nilai pun direduksi ke dalam bilangan harga.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik ketika ditanya visi dan misi dengan induk semang baru itu, di awal tugasnya, belum bisa menjelaskan apa-apa kepada Kompas. Mungkin karena itu pula, dengan caranya sendiri, para seniman, cendekiawan, dan budayawan menggelar Temu Akbar Mufakat Kebudayaan Indonesia, 28-29 Oktober 2009, di Jakarta.
Mufakat budaya, menurut budayawan Radhar Panca Dahana, adalah medium di mana seniman, cendekiawan, dan budayawan berkumpul, mencoba menjalankan fungsi dan peran strategis serta historisnya, dalam antara lain menemukan beberapa kesimpulan yang penuh visi terhadap berbagai persoalan yang melanda Indonesia. Terbentuknya forum ini bermula dari acara Debat Capres dan Budayawan medio April 2009, yang disusul dengan berbagai pertemuan antara seniman, cendekiawan, dan budayawan yang menyepakati dibentuknya forum yang likuid, yaitu Mufakat Budaya.
Dari puluhan poin-poin utama hasil Mufakat Budaya, salah satu poin yang menarik adalah pernyataan bahwa kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Mestinya, kebudayaan harus menjadi sebuah kerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan.
Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elit saja. Kebudayaan harus diposisikan sebagai sistem nilai yang mendasari kebijakan. Dan kebijakan itu harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia. Perlu sebuah strategi kebudayaan yang didasarkan pada hal-hal di atas.
Mufakat Budaya merekomendasikan, strategi budaya harus melakukan beberapa langkah fundamental: (a) menginventarisasi muatan-muatan kebudayaan local, (b) mengidentifikasi kemampuan kultural apa yang membuat secara kultural kita menjadi lebih kokoh dan kaya, (c) mengabstraksi nilai-nilai fundamental apa yang seharusnya menjadi pegangan dalam interaksi dan dialog antarbudaya, dan (d) menolak intervensi birokratis yang justru memperlemah proses penguatan dan pengutuhan yang sedang ditempuh bangsa kita secara kultural.

Kepedulian
Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan dan kasus munculnya tari Pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang telah menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti hendak menegaskan betapa kepedulian pemerintah terhadap budaya bagai “mendadak dangdut”.
Dalam kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit, misalnya, niat pemerintah untuk memajukan pariwisata situs Kota Majapahit, namun dalam praktiknya yang terjadi adalah pengrusakan. Dengan alasan proyek pemerintah pusat, pihak berwenang dan terkait di daerah dan di pusat tak pernah dilibatkan.
Begitu juga dengan tari Pendet. Kita baru peduli ketika negara tetangga antusias mempromosikannya. Pihak Malaysia bukan mengklaim, seperti yang diributkan di Indonesia. Menyusul kemudian heboh soal paten budaya lokal.
Kebijakan negara yang pada akhirnya berupaya mematenkan budaya lokal perlu ditolak, sebab hal itu, menurut forum Mufakat Budaya, memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan baik antarbudaya lokal maupun antarlokal dan global.
Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, kepedulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris, dan batik. Kini angklung dan juga kesenian Mak Yong, juga sedang menjalani tahapan untuk dapat pengakuan.
Yang menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khasanah budaya bangsa itu? Lalu bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal, masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut.
Terkadang, sudahlah tidak dibantu, untuk bisa menampilkannya seolah tak ada tempat. Kalau ada tempat, dikenakan sewa gedung dan pajak. Tragis memang, nasib seni tradisi dan seniman pelakunya.
Yang teramati selama ini, pihak asing begitu peduli dengan khasanah budaya Indonesia. Dan jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar dengan pihak asing.
Salah satu hasil kebudayaan kita yang sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia, dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara/Indonesia itu dijaga dengan baik di luar negeri. Kepedulian mereka tentu dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan pada gilirannya demi kejayaan bangsa mereka. Mereka sadar sekali bahwa the knowledge is power.
Banyak orang yang melakukan studi mengenai budaya sejarah Indonesia harus ke Leiden, misalnya, karena begitu lengkapnya koleksi literature (tulisan maupun visual) mengenai Indonesia yang dimiliki KITLV Leiden.
Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu minat bangsa asing kepada naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri justru hal sebaliknya yang terjadi: jangankan untuk menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat dengan teknologi fito digital, dll), naskah-naskah tersimpan di perpustakaan saja sering hilang, seperti yang terjadi di Solo. Ironis memang!
Kalau memang dana Pemerintah sangat terbatas, dan karena itu perhatian terhadap kebudayaan setengah hati, seharusnya dicarikan solusi, misalnya bagaimana BUMN memperuntukkan dana CSR sekian persen untuk pembinaan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan Indonesia
Pemerintah juga sebaiknya menggugah visi kebangsaan dan kebudayaan orang-orang kaya di negeri ini untuk menyisihkan kekayaannya guna pelestarian dan pemeliharaan kebudayaan tradisional.

Rabu, 03 Februari 2010

Asma Nadia, Kita Menjadi Abadi dengan Menulis


Oleh Yurnaldi


Acara sosialiasi perpustakaan bersama sastrawan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (3/2), menarik kalangan pelajar dan guru. Asma Nadia yang menjadi salah seorang narasumber, memberikan pengalamannya bagaimana bisa menjadi penulis yang diperhitungkan.
“Membaca itu saudara kembarnya menulis. Membaca itu sekolahnya menulis. Kalau kita tak membaca akan kehilangan keindahan-keindahan,” begitu ujar Asma Nadia, yang bernama lengkap Asmarani Rosalba.
Asma Nadia (38) lahir dari pasangan Amin Usman dan Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar Pena, suatu perkumpulan yang ikut dibidaninya untuk membantu penulis-penulis muda. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena Publishing House. Karena karya-karyanya pernah mendapat berbagai penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam berbagai lokakarya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Terakhir dalam perjalanannya keliling Eropa usai mendapatkan undangan writers in residence dari Le Chateau de Lavigny (Agustus - September 2009), Nadia sempat diundang untuk memberikan workshop dan dialog kepenulisan antara lain di PTRI Jenewa, Masjid Al Falah Berlin (bekerja sama dengan FLP dan KBRI di sana), KBRI Roma, Manchester (dalam acara KIBAR Gathering), dan Newcastle.
Asma bercerita, kebiasaan membaca terbentuk ketika ia sakit-sakitan. Ada lima jenis penyakit yang menyerang dirinya, yang membuat ia harus terbaring di rumah sakit selama hampir 10 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. “Dengan membaca, penantian yang begitu panjang menjadi lebih pendek,” katanya.
Karena suka membaca untuk memperpendek penantian yang panjang itu, selesai membaca suatu buku, maminya, Maria Eri Susianti, selalu membelikan buku baru. “Terakhir aku tahu, untuk beli buku baru itu, mami sering tak makan siang, sehingga akibatnya sampai sekarang mengidap penyakit maag,” akunya.
Menurut Asma, yang sejak tahun 2009 awal merintis penerbitan sendiri: Asma Nadia Publishing House, dengan banyak membaca ada kedalaman suatu pengetahuan yang kita baca. Bahkan, kalau kita tak gemar membaca, kita akan kehilangan keindahan-keindahan.
“Coba lukiskan malam, paling kita tahunya kelam. Namun, di tangan sastrawan Seno Gumira Ajidharma, malam ia lukisakan dengan kata-kata; ‘Malam mengembangkan jubahnya menyelimuti kota….’ Betapa indahnya rangkaian kata tersebut,” jelasnya.
Asma Nadia, yang salah satu karyanya diangkat ke layar lebar, berjudul Emak Ingin Naik Haji menegaskan, dengan membaca dan kemudian menulis, kita akan menjadi abadi.
“Kita menjadi abadi dengan menulis,” tegasnya.
Kecintaan akan buku dan untuk menggalakkan masyarakat gemar membaca, melalui Yayasan Asma Nadia, Nadia merintis RumahBaca AsmaNadia (RBA). Rumah sederhana untuk membaca dan beraktivitas bagi anak-anak dan remaja kurang mampu. Saat ini RBA ada di tiga titik di Jakarta, Gresik, Bogor, Balikpapan, Pekanbaru, Yogyakarta.
Asma Nadia aktif menulis dan mempublikasi karyanya sejak ia lulus dari SMA 1 Budi Utomo, Jakarta. Sasarannya adalah berbagai majalah keislaman. Ia juga menulis lirik sejumlah lagu, misalnya yang dinyanyikan oleh kelompok Snada.
Asma telah menulis sedikitnya 40 buku hingga saat ini. Banyak di antaranya diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Di antaranya: Derai Sunyi, novel, mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA).Preh (A Waiting), naskah drama dua bahasa, diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Cinta Tak Pernah Menar, kumpulan cerpen, meraih Pena Award. Rembulan di Mata Ibu (2001), novel, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional. Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002. 101 Dating meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller. Emak Ingin Naik Haji: Cinta Hingga Ke Tanah Suci (AsmaNadia Publishing House). Jilbab Traveler (AsmaNadia Publishing House).Muhasabah Cinta Seorang Istri, dan Catatan Hati Bunda.
Karya-karya berikut ditulis bersama penulis lain: Ketika Penulis Jatuh Cinta, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Kisah Kasih dari Negeri Pengantin, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Jilbab Pertamaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Jatuh Bangun Cintaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005. Gara-gara Jilbabku, Penerbit Lingkar Pena, 2006. Galz Please Don’t Cry, Penerbit Lingkar Pena, 2006. The Real Dezperate Housewives, Penerbit Lingkar Pena, 2006. Ketika Aa Menikah Lagi, Penerbit Lingkar Pena, 2007. Karenamu Aku Cemburu, Penerbit Lingkar Pena, 2007. Catatan Hati di Setiap Sujudku, Penerbit Lingkar Pena, 2007, dan banyak lagi.

Taufiq Ismail Berhutang Budi dengan Perpustakaan



Bercerita tentang perpustakaan, ternyata sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail punya banyak pengalaman. Rabu (3/2) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dia beberkan kepada para pelajar, guru, penulis, dan kalangan lain, bagaimana awal mulanya ia menyintai buku sehingga bisa jadi sastrawan terkemuka Indonesia seperti sekarang.
“Saya mempunyai ibu dan ayah yang berprofesi sebagai guru dan mereka suka membaca. Di rumah ada perpustakaan dengan koleksi beberapa ratus judul buku. Sebagai anak-anak, ketika masa pendudukan Jepang, saya dijatah dibelikan satu buku per minggu atau per dua minggu. Dibonceng sepeda ayah, kami beli buku di Pasar Johar, Semarang,” katanya.
Di toko buku, Taufiq langsung berlari ke rak buku anak-anak. Dipilih empat-lima judul buku yang disukai. Duduk di lantai. Satu buku yang dibeli disisihkan, dan empat lainnya dibaca cepat di toko buku tersebut.
Setelah baca buku anak-anak, beralih baca buku sastra. Buku sastra pertama yang dibaca Taufiq kecil adalah Tak Putus Dirundung Malang, karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Sastrawan yang kini punya Rumah Puisi di Aia Angek, kawasan lereng Gunung Marapi, di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat itu, mengaku kenal perpustakaan sejak SMP di Bukittinggi.
“Kebetulan, yang jadi kepala perpustakaan ketika itu seorang penyair, bernama Rivai Yogi. Saya senang dan bangga bisa bersalaman dengan beliau. Di perpustakaan itu juga adalah majalah sastra, sehingga saya makin suka membaca karya-karya sastra,” papar Taufiq Ismail.
Kecintaan kepada perpustakaan, membaca buku sastra dan buku-buku lainnya, berlanjut ketika SMA di Pekalongan. Kelas tiga SMA, Taufiq Ismail senang bukan main karena terpilih untuk program AFS, pertukaran pelajar Indonesia-Amerika. SMA ditamatkan di Amerika Serikat.
Sekolah di sana, Taufiq mengaku kaget, karena oleh guru sejarah ia disuruh membaca sebanyak 50 halaman buku. Semula merasa tak sanggup, apalagi yang dibaca itu bukan dalam bahasa ibu, bahasa Indonesia. Akan tetapi bacaan dalam bahasa Inggris.
“Saya coba mengadu ke orangtua Amerika, Werbach dan Helen, dan minta disampaikan ke guru agar ia diberi toleransi. Jawaban yang diberikan cukup mengagetkan. Tidak ada toleransi!” paparnya.
Di kelas sastra, juga ada tugas membaca puluhan halaman sehari. Intinya, saya harus banyak membaca. Harus sering ke perpustakaan. Perpustakaan adalah gudang ilmu. Hal-hal seperti inilah yang membentuk seorang Taufiq Ismail suka membaca.
“Saya berterimakasih ke pada perpustakaan. Saya berhutang budi dengan perpustakaan,” tandasnya.
Membandingkan pengalaman di Amerika dengan di Indonesia, Taufiq mengakui pelajar Indonesia masih ketinggalan dalam hal menulis dan membaca.
Bandingkan sekolah-sekolah negeri dan swasta dengan sekolah anak-anak orang asing (ekspatriat) di Indonesia, setiap tahun mereka membaca buku 70-80 judul buku. Setidaknya sampai kelas tujuh ada sekitar 500 judul buku yang mereka baca.
Pelajar Indonesia sangat jauh ketinggalan dalam hal membaca buku. Karena itu, para guru agar terus mendorong anak didik membaca buku setiap hari. Agar tanpa beban, mereka membaca jangan ditugasi macam-macam, seperti membuat synopsis, ringkasan, dan sejenis.
“Pupuk kesenangan mereka membaca. Ini lebih utama, modal bagi mereka untuk menyintai buku dan perpustakaan,” tambah Taufiq Ismail.


Jakarta, 3/2/2010

yurnaldi