Senin, 07 Desember 2009

“Soe Hok-Gie…Sekali Lagi”, Kegilaan yang Menginspirasi…





Benar-benar gila. Enam tahun musuhan, hanya karena demi Soe Hok-Gie (Jakarta,17 Desember 1942- Puncak Mahameru, 16 Desember 1969), mereka bersatu kembali. Saking tergila-gilanya, dalam tempo dua minggu, seorang Mira Lesmana, misalnya, di sela-sela kesibukan yang luar biasa, sumbangan tulisan bisa selesai dua jam menjelang tenggat.
Ada belasan orang penulis dalam kategori sama gilanya dengan Soe Hok-Gie --karena teman seperjuangan dan tergila-gila dengan sosok Soe Hok-Gie, dalam waktu dua bulan, bisa menghadirkan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi., setebal xxxix + 512 halaman. Ketika mereka dan puluhan pengagum serta teman Soe Hoe-Gie berjumpa, Jumat (4/12) siang di Bentara Budaya Jakarta, suasana menjadi begitu hangat. Mereka, yang umumnya sudah ubanan, tapi masih berjiwa muda, tampak saling bernoltagia. Silaturahim penuh kehangatan, yang mungkin sudah lama terputus, terjalin erat kembali.
Apalagi Rudy Badil, salah seorang editor buku dan teman Soe Hok-Gie, yang sama tergila-gila mendaki gunung, dengan licah dan kocak memperkenalkan satu per satu penulis dan membuka cerita yang sangat manusiawi sekali, kenangan semasa jadi aktivis kampus di Universitas Indonesia, jadi eksponen ’66. Sekitar 50-an pengunjung tak henti-hentinya dibuat tergelak, bahkan senyum-senyum malu.
Dan jika Anda sempat membaca buku ini --yang mungkin sudah beredar dan akan diluncurkan pertama kali, tanggal 16 Desember mendatang, di Universitas Indonesia, Depok, bersiap-siaplah jadi tambah gila. Tergila-gila karena tiba-tiba bisa jadi pengagum baru sosok Soe Hok-Gie. Semangat Anda akan menjadi terbakar dan yang pasti, menginspirasi.
Tergila-gila dan kemudian ikut peduli memikirkan masa kini, juga masa esok, alam bangsanya, siapa takut?
“Soe Hok-Gie…Sekali Lagi ini, yang katanya small outside with big inside, terbagi dalam lima bab dan tersusun unik. Unik karena buku kenangan sekaligus bungga rampai 20-an tulisan serta pemanfaatan dokumentasi ini membuat informasi kejadian dan peristiwa nyata, yang biarpun berlangsung 40-an tahun lalu, namun terasa betapa masih jelas benang merahnya dengan situasi alam bangsa zaman kini,” kata Rudy Badil, salah seorang dari tiga editor. Dua editor lainnya, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.
Buku dengan judul kecil Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya ini menyajikan dengan otentik dan amat eksklusif testimoni survivors Musibah Semeru 16 Desember 1969.
“Juga memuat rangkaian dokumentasi bagus tentang Soe Hok-Gie dan Idham Lubis, suatu sajian unik yang memberikan dimensi lain perihal kejadian masa lalu dua sekawan itu. Dari situ bisa diketahui bahwa –bahkan selewat 35 tahun sejak meninggalnya Soe 1969, nama Hok-Gie masih dicatut segelintir manusia culas untuk menjual proposal penipuan adanya harta karun tipu-tipu senilai triliunan rupiah di Puncak Mahameru,” papar Badil.
Yang mengejutkan, ada 14 tulisan dari penulis dengan dua kategori tadi; tergila-gila dan atau sama gilanya, yang bersikap kritis. Dengan tulisan yang bukan sekadar petasan, namun berisi ledakan bom yang mengejutkan dan patut direnungkan, yaitu betapa kejadian 40-an tahun lalu, masih mirip dan serupa dengan tahun 2010 yang ditakutkan dekat tahun “kiamat 2012”.
Untuk melengkapi kenangan dan mengenal semangat Soe Hok-Gie yang mashyur dengan tulisannya yang blak-blakan, terbuka, dan berani (untuk ukuran tahun 1967-1969), pembaca bisa menikmati 17 tulisan Soe Hok-Gie yang berisikan kepedulian, kesetaraan, dan kekhawatirannya terhadap nasib alam bangsanya, Indonesia. Opini di saat “djaman orde baru” itu, masihlah ada mirip-miripnya dengan “zaman orde lanjutkan” yang akan menapak hari ke-100 ini.
Jakob Oetama dalam tulisannya “Gelisah atas Nama Integritas” menulis, “Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-Gie pantas ditampilkan. Dilakukan tidak dengan maksud mengkultusindividukan, tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.”
Menurut Jakob, Soe Hok-Gie, mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat…atas nama integritas dan kehormatan diri.




salam, yurnaldi

Jumat, 04 Desember 2009

Tulisan yang juara pertama itu...(4, habis)


Ya, begitulah. Terobosan lain terus dilakukan. Yang dalam ujicoba adalah menemukan musuh alami hama kepik jeruk pada tanaman jeruk, yang menyebabkan buah jeruk jadi mengeras dan airnya tak ada. Selama ini hama kepik jeruk sulit diberantas meski sudah menggunakan pestisida. Tiga ekor hama kepik jeruk dalam satu batang, bisa merusak semua buah jeruk.
“Untuk tingkat kerusakan 30 persen sudah bisa kita atasi dengan agens hayati yang masih dalam ujicoba. Kita akan lakukan penelitian dalam enam bulan lagi, setelah itu baru kita lempar ke masyarakat petani,” ujar Djoni. “Bila ini berhasil, merupakan penemuan spektakuler di Indonesia.”
Yang spektakuler, yang membuat ekonom dan guru besar Faisal Basri tahun 2008 mau tinggal (belajar) beberapa malam di Institut Pertanian Organik (IPO) Aia Angek, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat, adalah petani binaan Djoni menemukan pupuk Cikam (cirit kambing) dan pupuk cair dari tanaman semak tothonia dan kecubung, tahun 2003.
Sebelum Faisal Basri sudah tak terhitung guru besar, petani, pejabat, pakar, peneliti, dan tokoh masyarakat adat, serta wakil rakyat berkunjung ke IPO Aia Angek untuk menyaksikan langsung bagaimana petani mengelola potensi lokal dengan biaya murah, dan hasil pertanian ramah lingkungan.
Sebab, petani binaan Djoni itu, yaitu Sutan Mancayo dan Andra, telah melakukan lompatan besar di bidang pertanian ramah lingkungan di Indonesia. Mungkin sebuah revolusi di bidang pertanian hijau.
Tahun 2006, penulis sudah menulis profil Sutan Mancayo dan Andra (baca: Sosok: Revolusi Pertanian Hijau di Sumbar, 13 Februari 2006).
Urine kambing dan tahi kambing yang selama ini terbuang percuma dan belum diketahui kegunaannya, di tangan Sutan Mancayo dan Andra dapat digunakan untuk pupuk ramah lingkungan. Tahi kambing yang sulit hancur oleh air, ternyata bisa hancur oleh urine kambing itu sendiri.
Temuan pupuk tahi/cirit kambing itu bisa memutus ketergantungan petani terhadap pupuk urea atau pupuk lainnya, yang harganya relatif mahal dan membuat petani selalu terjerat utang.
Ketika temuan petani itu diteliti Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, urine kambing rupanya mengandung kadar nitrogen 36,90 sampai 37,31 persen, fosfat 16,5-16,8 ppm, dan kalsium 0,67-1,27 persen. Artinya, kandungan nitrogen pada urine kambing sama dengan yang ada pada pupuk SP 36, yaitu 36 persen nitrogen, atau tak beda jauh dengan kandungan nitrogen pupuk urea, yakni 45 persen. Dua kilogram pupuk urea bisa diganti dengan 2,5 liter urine kambing.
Data ujicoba di IPO Aia Angek, satu ekor kambing menghasilkan 2,5 liter urine per hari dan menghasilkan kotoran (tahi) sebanyak satu karung selama dua bulan. Untuk kebutuhan pupuk lahan satu hektar per satu musim tanam, dibutuhkan dua ton urea. Dengan memelihara 10 ekor kambing, kebutuhan pupuk untuk satu hektar lahan sudah teratasi dan ramah lingkungan lagi.
Sedangkan dari daun tanaman tithonia, dari 20 kg daun tithonia, bisa dihasilkan 5,5 liter pupuk cair. Dari semaknya bisa dibuat kompos. Dari hasil penelitian, pupuk cair tithonia mengandung delapan unsur mikro lain, seperti Ca, Mg, K, Na, Cu, Za, Mn, dan Fe. Pupuk ini lebih bagus dari pupuk kimia karena mengandung banyak unsur mikro.
Contoh nyata bagaimana pertanian ramah lingkungan ini bisa membuat petani sejahtera, sebagaimana dipraktikkan petani di lahan IPO, bisa dilukiskan sebagai berikut:
Untuk menanam brokoli di lahan seluas 400 meter persegi atau 0,04 hektar, untuk bibit (1.000 batang) dibutuhkan Rp70.000. Pestisida perlu 400.000, pupuk Rp225.000. Total biaya Rp695.000. Setelah 3,5 bulan, brokoli yang diproduksi sebanyak 300 kg. Jika biaya transportasi Rp300.000 dan harga jual Rp4.000 per kg, total uang yang didapat petani Rp1,2 juta. Dipotong biaya produksi, petani hanya mendapatkan Rp205.000. Itu kalau dengan pertanian primitif, pertanian yang kini digalakkan jutaan petani di Indonesia.
Dengan pertanian ramah lingkungan dan ramuan antihama (agens hayati) dan pupuk alami (tahi kambing), di lahan yang sama, semua biaya pengeluaran bisa ditiadakan. Ketika brokoli siap panen, pembeli datang dan membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran, bisa Rp7.500 per kg. Dengan embel-embel produksi pertanian organik, brokoli bisa laku Rp15.000 per kg.
Artinya, dengan harga Rp7.500 per kg, petani mendapat hasil Rp2.250.000 per 3,5 bulan. Bandingkan dengan pola anorganik, hanya memperoleh Rp205.000 per 3,5 bulan. Dengan pertanian organik, di lahan yang sama, bisa ditanam 3-4 jenis tanaman (tumpang sari), sehingga dari lahan 400 meter persegi bisa mendatangkan penghasilan Rp2 juta sampai Rp3 juta per bulan.
Pertanian organik dengan temuan-temuan spektakuler ini, boleh dikatakan sebuah jawaban untuk pertanian masa depan, yang sekaligus upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Pertanian hijau ramah lingkungan dengan biaya murah dan hasil melimpah, karena tidak membutuhkan pestisida dan pupuk kimia. Lebih dari itu, keuntungan yang didapat berlipat ganda dan sehat dikonsumsi.
Yang jadi pertanyaan, apa pemerintah, gubernur atau menteri pertanian, berani ambil kebijakan ini?



Jakarta, 28 November 2009



Yurnaldi
Email: nalkompas@yahoo.com
f: yurnaldi paduka raja
hp 08121015276

Tulisan yang juara pertama itu...(3)




Revolusi pertanian hijau
Adalah kenyataan, Indonesia adalah negara agraris yang subur makmur, sebagian besar penduduknya adalah petani, tapi ironisnya petani di Indonesia tetap miskin. Belum sejahtera sebagaimana diharapkan.
Sejalan dengan maksud bagaimana menyejahterakan petani dan sekaligus menciptakan bumi yang lebih baik, yang intinya adalah bagaimana menyelamatkan bumi, memelihara dan mencegah lingkungan dari kerusakan, maka revolusi pertanian hijau adalah jawaban untuk itu.
Revolusi pertanian hijau adalah pertanian yang menghindari pemakaian bahan kimia, karena bahan kimia dapat mencemari lingkungan. Pertanian hijau adalah pertanian organik.
Pertani kita miskin karena sudah sejak lama, zaman Orde Baru, dibodohi melalui metode pertanian yang menuntut pengeluaran sangat besar dan tak ramah lingkungan, merusak bumi. Petani oleh pemerintah Orde Baru tidak saja dituntut peningkatan produksi, tetapi juga dipaksa memakai pupuk anorganik, pestisida, bibit impor, bahkan juga platik mulsa. Ini sebenarnya penipuan dan membuat ketergantungan petani dengan hal tersebut sangat tinggi.
Pemerintah waktu itu lebih fokus dengan peningkatan produksi, yang terbukti tak menjamin peningkatan kesejahteraan petani. Aneh, petani yang meja makannya saja tak pakai alas meja, malah ditawarkan pakai plastik mulsa untuk menutupi Bumi Tuhan yang luas ini. Seharusnya, yang penting itu bukan peningkatan produksi, tapi peningkatan kesejahteraan petani.
Kebetulan penulis, ketika bertugas di Sumatera Barat, melihat langsung bagaimana revolusi pertanian hijau digalakkan dan bertemu langsung para pelaku dan penemu yang membuat terobosan besar dalam revolusi pertanian hijau di Indonesia.
Untuk memberantas hama, misalnya, petani di Sumbar menggalakkan pemakaian agens hayati, musuh alami. Selama ini produk-produk usaha tani rusak kuantitas dan kualitasnya karena serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) –menyusul penggunaan pestisida yang tak terkendali.
Salah seorang yang gigih menggalakkan revolusi pertanian hijau sejak sekitar 25 tahun lalu sampai sekarang adalah Djoni, yang tahun tahun 2009 meraih penghargaan Kalpataru. Menurut Djoni yang kini Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Sumatera Barat mengatakan, sampai saat ini sedikitnya sudah 28 agens hayati yang sudah ditemukan dan digalakkan pemakaian.
Jenis agens hayati yang ditemukakan adalah entopatogen; berbentuk virus (seperti Se-NPV, Si-NPV, Ha-NPV, dan Pc-NPV), berbentuk bakteri (seperti Bxl-Cb, Bx2-EZ, Bx3-Mt, Bx4-Pi, dan Bx5-Po), dan berbentuk cendawan (Beauveia, Metarhizium, Hirsultella, dan Gibellula). Selain itu, jenis agens antagonis hanya ditemukan pada cendawan seperti Trichorderma, Cliocladium, dan untuk bahteri contohnya Pf serta jenis Parasitosid, seperti Hemiptarsenus.
Agens hayati yang ditemukan tersebut telah teruji efektivitasnya dalam pengendalian OPT di Sumatera Barat. Dilukiskan, pemanfaatan agens hayati Se-NPV pada tanaman bawang dapat menekan serangan ulat daun bawang sekitar 84 persen, dan penyelamatan hasil yang hilang sekitar 80 persen.
Pemanfaatan agens hayati Bx1-Cb pada tanaman kubis, dapat menekan serangan ulat krop sekitar 90 persen, dan penyelamatan hasil yang hilang 63 persen. Pemanfaatan agens hayati Ha-NPV pada tanaman tomat dapat menekan serangan ulat buah sekitar 65,5 persen dan menyelamatkan hasil yang hilang sekitar 83 persen. Sementara, pemanfaatan agens hayati Gliocladium pada tanaman cabai dapat menekan serangan penyakit buah sekitar 72 persen dan menyelamatkan hasil yang hilang sekitar 56 persen.
“Sejak delapan tahun 2001 sudah dibentuk Pusat Informasi dan Pelayanan Agens Hayati di Alahanpanjang, Kabupaten Solok. Pemakaian agens hayati oleh para petani setempat, bisa menghemat biaya sekitar Rp2,5 miliar per tahun. Sebab, mereka tidak perlu lagi menggunakan pestisida,” kata Djoni.
Untuk tanaman cabai, dengan sistem pertanian organik bisa dilakukan penghematan sekitar Rp2,5 juta sampai Rp3,5 juta per hektar. Untuk tanaman padi, misalnya, dengan sistem pertanian organik, waktu panen lebih cepat 15 hari dibanding sistem non-organik. Hasil panen pun lebih tinggi. Sistem pertanian ramah lingkungan ini pun tak merusak humus tanah, malah semakin menyuburkan tanah.
Dengan pertanian ramah lingkungan metoda tanam sebatang yang dikembangkan di Sumatera Barat, produktivitas lahan semakin meningkat. Semula hasil panen hanya sekitar 5,5 ton GKG per hektar. Dengan metode ini, hasil panen meningkat menjadi 9,6 ton per hektar. (bersambung)

Tulisan yang juara pertama itu...(2)


Dampak bagi Indonesia
Dampak nyata dari perubahan iklim di Indonesia, ternyata sudah dari dulu dirasakan dan hingga sekarang. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan bencana seperti banjir, longsor, kemarau panjang, angin kencang, dan gelombang tinggi yang menyebabkan kapal tenggelam.
“Ancaman terhadap bencana iklim di Indonesia ini bahkan dapat terjadi dalam intensitas lebih besar, yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat petani, nelayan, pedesaan dan perkotaan. Dampak yang lebih luas tidak hanya merusak lingkungan, akan tetapi juga membahayakan kesehatan manusia, keamanan pangan, kegiatan pembangunan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan infrastruktur fisik,” kata pakar lingkungan hidup dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Amanda Katili, pada diskusi peluncuran buku State of World Population 2009, 19 November 2009, di Jakarta.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, pada saat peluncuran buku State of World Population 2009 menegaskan, pemanasan global juga telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan, seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, dan malaria.
Padahal, penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah mampu ditangani, namun sampai sekarang masih mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Timbul pula penyakit infeksi baru, seperti SARS dan flu burung.
“Dalam beberapa tahun ke depan, perubahan iklim dapat mengancam kehidupan para nelayan di pesisir sehingga terjadi kemiskinan dan juga kelangkaan pangan yang luar biasa. Saat ini kita sudah dapat merasakan akibat berubahnya iklim yang sulit diprediksi, seperti musim hujan yang semakin pendek sementara kemarau semakin panjang atau sebaliknya. Keadaan ini mengakibatkan petani sulit bercocok tanam dan sering terjadi gagal panen akibat kekurangan air dan serangan hama,” ungkap Menneg PP dan KA, Linda Amalia Sari.

Bebas dari kemiskinan
Dengan kenyataan (dampak) seperti yang telah dijelaskan tadi, sudah saatnya masyarakat Indonesia peduli bumi, dengan menciptakan bumi yang lebih baik.
Saya menggarisbawahi apa yang dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, bahwa perubahan iklim dapat mengancam kehidupan nelayan (dan juga petani) sehingga terjadi kemiskinan dan juga kelangkaan pangan yang luar biasa. Kelangkaan pangan disebabkan kekuarangan air dan serangan hama.
Dalam tulisan ini saya mencoba menginspirasi masyarakat melakukan upaya penyesuaian dengan kondisi yang sekarang (adaptasi), yang pada akhirnya akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan. Masyarakat yang miskin bisa berkurang jumlahnya.
Sebagai gambaran kemiskinan di Indonesia, Media Indonesia edisi 28 Mei 2008 melaporkan, sejak krisis ekonomi mulai menerpa Indonesia pada 1997, jumlah orang miskin terus bertambah. Indonesia makin berada dalam kungkungan kemiskinan. Potret kemiskinan di Indonesia hingga 2006 sulit untuk diartikan lain selain suram.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga maret 2006 mencapai 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Dengan begitu, terjadi lonjakan 3,95 juta jika dibandingkan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Februari 2005 yang menyebutkan jumlah penduduk miskin 35, 10 juta atau 15,97 persen dari total jumlah penduduk.
Data terbaru, yang diungkapkan Erna Witoelar dari Millennium Development Goals (MDGs) dalam buku Kita Suarakan MDGs demi Pencapaiannya di Indonesia 2007/2008, jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tahun 2007 berjumlah 37,2 juta.
Ke depan, akibat dampak dari perubahan iklim ini angka kemiskinan sebagaimana diprediksikan bertambah, angkanya mungkin mencapai lebih dari 37 juta, mungkin 40 juta atau 41 juta sampai 50 juta penduduk miskin.
Sekarang, bagaimana agar masyarakat miskin tidak bertambah jumlahnya? Atau, bagaimana angka kemiskinan yang ada saat ini bisa dikurangi? Lalu bagaimana, mengantisipasi kelangkaan pangan?
Baca terus tulisan ini, semoga Anda terinspirasi. (bersambung)

Tulisan yang juara pertama itu...(1)


Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan

Oleh Yurnaldi
Jurnalis KOMPAS

Kecemasan pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, terhadap iklim global atau pemanasan global saat ini semakin menjadi-jadi. Saking pentingnya persoalan ini, negara-negara di dunia akan bertemu di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009, dalam Konferensi PBB UNFCCC-COP ke-15.
Pertemuan yang juga diikuti oleh delegasi Indonesia itu akan membahas langkah bersama menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi semakin memburuk. Akan ada kesepakatan global baru pengganti Protokol Kyoto --disepakati tahun 1997, yang diharapkan lebih mengikat negara-negara untuk bertanggung jawab atas penurunan emisinya.
Adalah kenyataan, sejak Protokol Kyoto tentang pemanasan global itu disepakati, perubahan iklim justru menunjukkan gejala memburuk dan makin cepat—melebihi perkiraan terburuk di tahun 1997. Ketika dunia selama belasan tahun didera pemanasan global, lautan Artik yang tadinya beku kini mencair menjadi jalur-jalur baru perkapalan. Di Greenland dan Antartika, seperti dilaporkan Kompas.com (24 November 2009), lapisan es telah berkurang triliunan ton. Gletser di pegunungan Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika menciut sangat cepat.
Banyak fakta-fakta perubahan iklim lainnya yang sampai sekarang terus berlangsung.
Indonesia pun dengan sigap menyikapinya dengan membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), yang diketuai oleh Presiden RI dengan wakil ketua Menko Perekonomian dan Menko Kesra, dan beranggotakan 17 menteri dan satu kepala badan.
Dalam Perpres No 46 Tahun 2008, tugas DNPI adalah merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan. Kemudian merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi tentang pengendalian perubahan iklim. Lalu, memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Sebelum ada DNPI, Indonesia telah menghasilkan Rencana Aksi Nasional terhadap Perubahan Iklim (RANPI) pada bulan Desember 2007, yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, menjelang Conference of Parties UNFCCC ke-13 di Bali. Namun, dalam kurun waktu 2008 hingga sekarang, posisi Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim telah mengalami kemajuan berarti yang didukung oleh serangkaian kajian perubahan iklim di Indonesia.
Dari kajian yang dilakukan DNPI, kesimpulannya sebagai berikut: pertama, sumber emisi gas rumah kaca Indonesia yang terbesar adalah dari lahan gambut, deforestrasi dan pembangkitan tenaga listrik. Kedua, pemanfaatan tenaga panas bumi dapat berarti kesempatan pencegahan emisi skala besar dengan biaya kecil. Ketiga, Indonesia berpeluang mengurangi emisi CO2 sebesar 2,6 giga ton setiap tahun pada 2030. (bersambung)

Alhamdulillah, akhirnya juara juga


Setiap kita pasti ingin meraih sesuatu prestasi. Prestasi, memang, tak selalu identik dengan meraih gelar juara. Dari tidak lihai, menjadi lihai menulis, itu sudah prestasi. Dari belum pernah dimuat di media nasional, lalu tiba-tiba bisa tembus media nasional, juga prestasi yang membanggakan bagi penulisnya.

Atau, dari yang semula takut dan tak berani menulis buku, tiba-tiba bersemangat menulis buku dan terbit, misalnya, ini juga prestasi yang sangat luar biasa. Bagi wartawan, kata Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama, buku adalah mahkota wartawan. Artinya, kehebatan tertinggi seorang wartawan tak hanya bisa sekadar menulis berita, menulis feature, atau menulis kolom dan artikel. Akan tetapi, juga mampu menulis buku.

Sebelum bergabung dengan Kompas, saya sudah menulis buku. Ya, semasa mahasiswa saya sudah menulis dua buku jurnalistik, sehingga kemudian menjadi modal utama saya untuk melamar bergabung dengan harian terkemuka itu. Kompas memang target saya sejak jadi mahasiswa. Ibaratnya, saya ingin membuktikan kemampuan saya dalam hal menulis. Karena banyak dosen, hingga rektor waktu itu, menilai saya sangat layak di Kompas.

Mereka menilai begitu, karena artikel-artikel yang saya tulis waktu mahasiswa, seperti pemikiran seorang doktor. Hehe...Ya, terserah mereka menilai. Tapi, setidaknya, dalam beberapa kali lomba karya ilmiah di kampus dan tingkat regional, saya berdebat dengan profesor dan doktor.

Di luar itu, banyak ide saya yang kemudian diwujudkan. Waktu saya mahasiswa, saya pernah mengusulkan, misalnya agar IKIP Padang memiliki Rektor IV, yang membidangi kerjasama dalam dan luar negeri. Akhirnya, ide ini dilaksanakan, tapi bukan dalam bentuk lembaga Pembantu Rektor IV --melainkan Lembaga Kerjasama, yang tugas, fungsi dan wewenangnya seperti yang saya usulkan. Juga pernah saya gagas IKIP menjadi Universitas, dan untuk mendidik calon guru cukup ada fakultas keguruan dan ilmu kependidikan (FKIP). Ini dalam bentuk karya tulis ilmiah, berdebat dengan pakar pendidikan yang jadi juri, dan akhirnya menang. Ide ini kemudian juga jalan.

Bahkan, karena saya kuliah di pendidikan kimia FPMIPA, saya juga pernah menulis sesuatu yang menghebohkan. Saya menulis tentang kiamat yang ditinjau dari ilmu kimia. Saya seminarkan di kampus, di muat di media massa. Jadi sebelum heboh kiamat 2012 sekarang, saya sempat meramal kiamat yang tahunnya 2040. Rasanya, mau saya bukukan juga pemikiaran itu. Saya juga membuat dosen banyak belajar pada saya, ketika saya menyajikan kolokium tentang senjata kimia, yang dampaknya lebih dahsyat dari bom.

Ya, begitulah. Betapa enak kita melontarkan gagasan melalui kegiatan menulis artikel atau opini, dibaca banyak orang, dikomentari, dan diam-diam ada yang melaksanakan.

Dan kembali ke soal artikel yang saya lombakan dan juara itu. Saya terdorong menulis karena selama dua tahun terakhir pengamatan saya, soal isu pemanasan global dan sebangsanya, hanya banyak diulas pada tataran persoalan di luar negeri dan menyingsung sebatas dampak-dampaknya. Lantas solusinya mana? Apa yang bisa dilakukan oleh bangsa Indonesia?

Berangkat dari pertanyaan itu, kebetulan saya sering diskusi dan meliput persoalan urgen bangsa ini yang sejalan dengan upaya revolusi pertanian hijau yang ramah lingkungan. Sumbar melahirkan banyak gagasan untuk bangsa ini. Itu saya kemukakan sedetail-detailnya. Inilah yang membuat saya optimistis dan akan meraih gelar juara.

Selain itu, sekurang-kurangnya, saya juga ingin membuktikan, bahwa saya tak hanya jago berteori bagaimana menulis artikel yang layak muat media massa dan layak juara. Hehe...(mungkin kelak akan saya bukukan tersendiri).

Pada pengumuman pemenang semalam, saya meraih nilai tertinggi. Berikut kutipan beritanya:


Wartawan Kompas Juara I Menulis Artikel

JAKARTA, KOMPAS.com – Artikel berjudul “Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan” ditulis Yurnaldi, wartawan Kompas, berhasil meraih juara pertama dengan nilai tertinggi 237 pada Lomba Menulis Artikel Antarjurnalis tentang Go Green dengan tema Ciptakan Bumi yang Lebih Baik.
Lomba yang digelar Mall Ciputra untuk kedua kalinya itu, diikuti antusias wartawan peduli lingkungan dari berbagai media massa nasional dan daerah. “Ada 57 artikel yang dinilai, yang dikirim 37 wartawan dari Jakarta, Surabaya, dan daerah lainnya,” kata Public Relations Mal Ciputra Jakarta, Rida Kusrida, pada acara Media Gathering, Jumat (4/12) malam di Hotel Ciputra, Jakarta.

Rida menjelaskan, Mal Ciputra Jakarta bermaksud meneruskan dedikasi programGo Green guna mendukung dan menciptakan bumi yang lebih baik. Selalu berupaya membantu menyelamatkan bumi yang kita cintai ini dengan cara mencegahdan mengatasi dampak dari pemanasan global dengan acara sosial yang diusung Go Green.

Juara kedua dan ketiga diraih wartawan Koran Tempo dengan nilai 224,5 dan wartawan Swa Sembada dengan nilai 222. Penitia juga memilih dua pemenang harapan. Para pemenang meraih hadiah berupa piala, piagam, dan sejumlah uang tunai.(NAL)


Kamis, 03 Desember 2009

Ketika ditelepon dan sms


Pagi tadi, baru sekitar 75 meter bergerak dari rumah, saya ditelepon. Telepon saya jawab sembari terus mengendarai motor. "Mas, Nal, jangan sampai tidak datang ya...." suara perempuan.

"Ke mana?" tanya saya....

"Ke Hotel Ciputra. Pukul 18.30 sudah harus sampai ya," seperti memaksa, tapi saya lalu ingat, ini telepon dari Public Relations PT Ciputra Sentra, Rida Kusrida. Saya jadi ingat, ini pasti gara-gara saya ikut Lomba Menulis bertema "Ciptakan Bumi yang Lebih Baik", yang saya ikuti sehari menjelang tanggal penutupan.

"Ya, insya Allah," ujar saya singkat.

"Pokoknya, harus datang," tandasnya.

"Oke," jawab saya, sembari menutup handphone.

Saya yakin, ini pertanda baik. Kalau tidak, kenapa harus ngotot begitu. Saya membatin.

Lantas, saya telepon istri, yang senyum-senyum liat saya memasukkan satu kemeja di tas. "Ada apa, kok bawa baju?" tanyanya. Ya, baru sekali itu saya bawa baju ganti, supaya tetap wangi. Hehe...

Memang menjelang berangkat ke kantor, saya sudah yakin, salah satu nomor pada lomba menulis itu, akan saya dapat. Yakin juara pertama.

Setiba di kantor, saya kemudian mendapat sms alias pesan singkat. Juga dari seorang perempuan. Namanya belum tersimpan di memori, tapi tahu setelah ia menulis di sms.

"Halo NAL, hr ini ga ada tugas ke LK khan? yun."

Saya heran, kok tiba-tiba, mbak Yuni, rekan sekantor saya, satu desk lagi, tanya kok begitu. Menanyakan apakah ada tugas luar kota (LK) atau tidak.

"Tidak ada. Masih di Jakarta Mbak Yuni," saya balas sms.

"Nanti malam dtng khan ke acara pengumuman lomba di mal ciputra?" mbak Yuni membalas.

Saya jadi penasaran. kenapa mbak Yuni tanya begitu.

Saya balas lagi, "rencana. mudah2an kerja bisa usai secepatnya dan ke sana. Adakah sesuatu yang menggembirakan? hehe? tak apa dibocorkan...kerahasiaan tetap dijaga."

"ok sip, pokoknya to lah. tks," balasnya lagi.

"trims mbak yuni. isyaratnya dah bisa terbaca." Saya tersenyum. Indra keenam saya, jauh-jauh hari, sejak saya mulai menulis kata pertama di artikel yang dilombakan, sudah yakin meraih yang terbaik.

Telepon dan sms itu, di Jumat tanggal 4 Desember 2009, yang biasa disebut hari baik dan terbaik di banding hari-hari lainnya, seperti mengabarkan sesuatu yang juga tampaknya baik. Mudah-mudahan.

Dari cerita ini, saya hanya hendak mengtakan, bahwa kalau kita yakin, kesempatan ada, kenapa tidak pernah mencoba. Ya, kebetulan saya ada waktu untuk menulis. Lalu yakin dengan gagasan yang ditulis, hasilnya pasti bagus. Saya akhirnya yakin juara. Keyakinan ini, seperti saya katakan sebelumnya, bukti kepercayaan diri tinggi. Bukan kesombongan.

Hal ini sebenarnya tak terlepas dari pengalaman selama ini, puluhan tahun. Mengikuti lomba memang tidak bisa dipaksakan, sekadar ikut-ikutan. Kalau mau ikut, harus ada gagasan. Harus ada ide dan contoh nyata.

Ya, begitulah. kita tunggu kabar baiknya, hingga malam nanti. Mungkin besok, saya berkabar lagi.


Jakarta, 4 Desember 2009.

Rabu, 02 Desember 2009

Media cetak belum tergantikan


Kejadian di Amerika Serikat pascakrisis keuangan sejak 2007, yang menyebabkan industri pers ikut jatuh bangkrut, sehingga sejumlah koran berhenti terbit, mengurangi pekerja, dan redesain, tidak berimbas ke Indonesia. Semula sempat mencemaskan, tetapi setelah dilakukan penelitian keberadaan media cetak belum tergantikan.
Peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan, Penenrangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) Indrajid pada presentasi riset Masa Depan Industri Media Cetak di Indonesia dan Economy Outlook 2010, yang digelar Serikat Penerbit Suratkabar, Kamis (12/11) di Jakarta, mengatakan ada 95,9 persen pembaca media cetak yang juga pemirsa TV dan 2,3 persen pendengar radio. “Fakta tersebut menunjukkan bahwa media cetak belum tergantikan. Media cetak punya pembaca yang loyal,” tandasnya.
Riset yang dipaparkan tersebut merupakan kerja sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar, dilakukan bulan Juni 2009. Riset pembaca media cetak itu diselenggarakan di 15 kota, yakni di Medan, Pekanbaru, Batam, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.
Indrajid menjelaskan, ada sekitar 3.000 responden menjadi sample survei yang dibagi secara quota masing-masing 50 persen responden remaja (12-18 tahun) dan responden dewasa (18 tahun ke atas). Ada banyak temuan menarik yang berhasil diungkap, antara lain tentang tren dalam mengkonsumsi media cetak (koran, tabloid, majalah), lama waktu membaca media cetak, rubrik-rubrik yang digemari, waktu yang paling disukai dalam membaca, tren mengkonsumsi internet, hingga daya tarik responden dalam membaca iklan-iklan media cetak.
Tentang media cetak Indrajid mengungkapkan, koran harian, tabloid, dan majalah terus tumbuh, kecuali koran mingguan. Jumlah tiras juga tumbuh, sekarang sekitar 20 juta eksemplar. “Pembaca lebih banyak membaca koran harian, dengan lama waktu 4 jam. Sedangkan orang baca majalah hanya punya waktu 3,5 jam,” ujarnya.
Untuk koran, pembaca lebih menyukai membaca rubrik kecelakaan dan atau bencana alam. Sedangkan untuk majalah, rubrik yang paling disukai adalah gaya hidup dan musik. Sebanyak 67 persen pembaca juga baca iklan.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Rofikoh Rokhim, yang presentasi tentang ekonomi, iklan, dan suratkabat mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir 2014 diprediksi mencapai 7,6 persen, meningkat dari pertumbuhan ekonomi yang sekarang 6,3 persen.
“Tren iklan akan meningkat, tergantung kejelian kita untuk menawarkannya. Rubrik gaya hidup menjadi lebih disukai, karena kesejahteraan pembaca jauh di atas rata-rata. Yang memiliki kekayaan sekitar Rp10 miliar ada 3.000 orang, sedangkan yang memiliki kekayaan lebih dari Rp35 miliar, ada 1.200 orang,” papar Rofikoh Rokhim.
Sedangkan Direktur Eksekutif Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto memprediksikan oplah media cetak akan sangat tinggi, karena di Indonesia hampir tiap tahun ada pilkada. “Tahun depan ada tujuh pilkada di level provinsi,” katanya.

Inovasi di balik naiknya oplah media cetak


Media cetak akan mampu bertahan di tengah arus persaingan antarsesama media yang semakin tajam dan ketat, jika terus melakukan inovasi, pembaruan. Banyak media tidak hanya sekadar bertahan, tapi mampu menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Bahkan, media yang berusia tua, terbit 1700-an, sampai sekarang masih tetap eksis. Hasil survey menunjukkan, penjualan koran sedunia tahun 2007 mencatat kenaikan 2,57 persen.
Demikian inti pembicaraan tentang ”Oleh-oleh dari Kongres World Association of Newspapers (WAN) di Swedia dan Prospek Iklan Media Cetak Semester II 2008”, dengan narasumber Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Antarlembaga Serikat Penerbit Suratkabar Tribuana Said, Kepala Pusat Litbang Kompas Titus Kitot, dan Business Development Manager Nielsen Media Research Maika Randini, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tribuana Said mengatakan, penjualan global suratkabar tahun 2007 sebagaimana dilaporkan CEO WAN, Timothy Balding, mengalami kenaikan 2,57 persen dengan tiras berjumlah 532 juta lembar per hari. Kenaikan itu sedikit di atas tahun 2006 dengan tiras 515 juta/hari. Namun, cukup signifikan dibanding tiras koran tahun 2002 yang berjumlah 488 juta/hari.
”Kenaikan penjualan koran dua tahun terakhir ditopang oleh kenaikan penjualan di dua negara besar, yakni China (3,8 persen) dan India (11 persen). Juga berkat kenaikan tiras koran gratis (20 persen) di beberapa negara. Menurut data terakhir, koran gratis mencapai 7 persen dari tiras harian sedunia,” ujarnya.
Menurut Tribuana Said, survei lain yang perlu disimak adalah survei yang dilakukan World Editors Forum (WEF) bekerjasama dengan Reuters dan Zoghy Internasional, dengan responden 704 pimpinan media dari seluruh penjuru dunia, tentang masa depan suratkabar.
Walaupun terjadi kenaikan tiras, namun tentang masa depan suratkabar ada yang menyikapinya dengan optimistis dan ada pula yang mencemaskan. Tingkat optimistis
pimpinan media di Asia 84 persen dan Amerika Latin 94 persen..

Tentang masalah integrated newsroom (organisasi dan operasi redaksi yang terpadu), survey WEF melaporkan, 86 persen responden setuju hal itu dan akan menjadi standar bagi semua suratkabar dalam waktu 5 tahun mendatang. Sebanyak 83 persen responden setuju bahwa jurnalis diharapkan mampu membuat konten multimedia (cetak, video, video, audio, web, mobile, dll) dalam waktu 5 tahun mendatang. Sebanyak 83 persen setuju bahwa desain ruang kerja penting untuk membangun kolaborasi antara jurnalis cetak dan online.
”Saat diajukan pertanyaan mengenai keharusan melakukan invovasi redaksional, khususnya pembaruan konten, 67 persen responden menyatakan halaman-halaman opini dan analisis akan bertambah di masa yang akan datang. Angka ini tak jauh berbeda dengan hasil survei yang sama di tahun 2006. Bagi World Association of Newspaper (WAN), hal ini menunjukkan kesadaran mayoritas pimpinan redaksi bahwa konten surat kabar di masa depan akan mengurangi berita faktual, dan banyak mengisinya dengan analisis dan komentar,” papar Tribuana.

Semendata itu Titus Kitot mengatakan, beberapa inovasi media masa depan, di antaranya koran transparan dan newsroom. Koran transparan adalah media cetak yang membuka diri kepada publik pembaca, bahkan mengajak pembaca berpartisipasi dalam kegiatan redaksional.”Integrated Newsroom perlu juga dilembagakan di Indonesia. Sejumlah media massa sudah melakukannya. Bahkan, dengan terintegrasinya dengan sesama media dalam satu kelompok, calon pemasang iklan bisa lebih diyakinkan, bahwa satu sama lain multimedia saling menunjang,” katanya

Perangi praktik jurnalistik tidak etis


Dewan Pers berharap masyarakat, terutama pemerintah daerah, di seluruh Indonesia dapat membantu memerangi praktik-praktik jurnalistik tidak etis demi penegakan kemerdekaan pers. Sebab, akhir-akhir ini Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan dan keluhan dari berbagai pihak mengenai penyalahgunaan profesi wartawan.
Hal itu dikatan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dalam siaran pers tentang Surat Terbuka Dewan Pers kepada Pemerintah Daerah di Seluruh Indonesia, yang penulis terima, beberapa waktu lalu. “Mereka yang mengaku wartawan itu melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan etika jurnalistik seperti memeras, memaksa, atau mengancam narasumber,” katanya.
Sabam Leo Batubara menjelaskan, praktik pelanggaran etika jurnalistik tersebut memanfaatkan kemerdekaan pers dengan menyalahgunakan prinsip-prinsip kemerdekaan pers untuk keuntungan atau kepentingan individu. Dengan menyalahgunakan kartu pers, organisasi wartawan, atau institusi pers, sejumlah individu mengidentifikasi diri sebagai “wartawan” sebagai sarana mencari keuntungan secara tidak etis.
Menurut Leo, Dewan Pers tanggal 5 Maret 2008 telah mengeluarkan pernyataan tentang Prakteik Jurnalistik yang Tidak Etis. Pernyataan Dewan Pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof Dr Ichlasul Amal MA, memuat empat poin sebagai berikut:
Pertama, wartawan wajib menegakkan prinsip-prinsip etika, seperti yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang telah disepakati oleh organisasi-organisasi wartawan. Wartawan tidak menggunakan cara-cara pemaksaan dan klaim sepihak terhadap informasi yang ingin dikonfirmasikan kepada narasumber.
Kedua, wartawan tidak boleh menerima suap (amplop) dari narasumber dalam mencari informasi, oleh karena itu masyarakat/narasumber tidak perlu menyuap wartawan. Kode Etik Jurnalistik dengan jelas menyatakan wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita. Dengan tidak menyuap, masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika dan upaya memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.
Ketika, masyarakat berhak menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Masyarakat berhak menolak melayani wartawan yang menyalahgunakan profesinya dalam melakukan kegiatan jurnalistik.Keempat, Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktik penyalahgunaan profesi wartawan dan melaporkan pada kepolisian


Jakarta, 2 Desember 2009

Menulis, asyik gitu, loh...(6, habis)


Jangan menunggu


Anda jangan menunggu. Maksudnya, menunggu tulisan yang dikirim dimuat, baru Anda menulis lagi. Pokoknya, jika ada kesempatan menulislah terus. Jangan hiraukan artikel yang telah dikirim. Tanamkan prinsip, dimuat atau tidak, yang penting kalau ada gagasan, menulis jangan ditunda-tunda.
Tulisan jangan panjang-panjang. Cukup 5000 sampai 7.000 karakter. Singkat, padat, bernas dan cerdas.
Jangan lupa, di akhir tulisan dibuat catatan tentang alamat lengkap atau e-mail, nomor telepon genggam yang bisa dihubungi, dan sekaligus nomor rekening. Sebab, seringkali redaksi sulit menghubungi balik penulis, karena tidak menerakan nomor telepon genggam atau e-mail.
Kalau tulisan Anda dimuat, girangnya hati bukan main. Mungkin akan menjadi momen yang bersejarah bagi Anda. Karena itu, jangan lupa mengkliping tulisan yang dimuat, sebagai dokumentasi. Untuk tulisan pertama yang dimuat, selain Anda kliping, juga bisa Anda beri pigura. Pajang di ruang kerja atau di ruang tamu. Bangga sedikit bolehlah. Bukti sejarah kepenulisan Anda, yang bisa Anda ceritakan ke anak-cucu atau Anda persembahkan kepada umum, dari generasi ke generasi.
Karya Al-Ghazali, misalnya, sampai sekarang pun masih dicari dan dibaca orang. Kitab Ihya ‘Ulumuddin dan Biyadatul Hidayah, sekadar contoh. Padahal, karya ini –dan juga 200 karya lainnya—ditulis oleh Al-Ghazali pada abad ke-12.
Artikel-artikel yang telah dimuat, suatu waktu bisa Anda bukukan. Anda kemudian tidak hanya dikenal penulis artikel, tetapi juga penulis buku. Atau kalau bukan kumpulan artikel, buku khusus tersendiri juga bisa Anda tulis. Bagaimana menulis buku, suatu topik tersendiri. Ada kiat-kiatnya, bagaimana menulis buku laris.

=======

Biodata
Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal), sejak mahasiswa sudah gemar menulis artikel di puluhan media cetak daerah dan nasional. Biaya kuliah dan biaya hidup dibiayai dari honorarium penulis, yang pada masa itu honor setiap bulan yang ia terima melebihi gaji para dosennya.
Juga pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang). Beberapa kali juara menulis karya ilmiah dan jadi belasan kali jadi pembicara seminar di tingkat daerah, regional, dan nasional.
Ia mahasiswa pertama di Sumatera Barat, yang menulis dua buku ketika masih berstatus mahasiswa. Buku yang ditulis ketika itu adalah Kiat Praktis Jurnalistik dan Jurnalistik Siap Pakai. Buku tersebut hingga kini dicetak ulang dan jadi referensi mahasiswa komunikasi.
Sejak mahasiswa, tahun 1986, di samping penulis artikel, juga menulis karya jurnalistik.
Menekuni dunia kewartawanan sejak 24 tahun lalu, di mana 15 tahun terakhir bergabung dengan KOMPAS. Salah seorang pendiri (dan pencipta logo) Forum Wartawan Peduli Aset Daerah Sumatera Barat, Padang Press Club (PPC), dan Forum Wartawan Peduli Pariwisata Sumatera.Bergabung dengan KOMPAS tahun 1995.
Sebagai wartawan profesional, telah melatih ribuan calon wartawan, wartawan, staf/kepala kehumasan, serta siswa dan mahasiswa peminat bidang jurnalistik. Buku-buku jurnalistiknya laris dan menjadi referensi, antara lain Kiat Praktis Jurnalistik (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), Jurnalistik Siap Pakai (Penerbit Angkasa Raya, 1992, 2007), Menjadi Wartawan Hebat (Citra Budaya Indonesia, 2004, 2008). Foto Jurnalistik: Menjadi Kaya dengan Foto (2001,2009).
Juga belasan buku-buku lain, baik yang ditulis sendiri maupun terhimpun dalam berbagai buku yang ditulis bersama wartawan KOMPAS dan wartawan media cetak lain. Beberapa kali karyanya memenangkan lomba karya jurnalistik dan juara satu mengarang tingkat nasional. Karya jurnalistiknya tentang PLN pernah mendapat penghargaan dari Menteri Pertambangan dan Energi. Tanggal 3 Maret 2009, karya jurnalistiknya tentang gizi/kesehatan yang dimuat di Kompas.com, memperoleh penghargaan terbaik dari PT Nestle Indonesia.
Selama di KOMPAS pernah bertugas dalam hitungan tahun di Bandarlampung (Lampung), Palembang (Sumatera Selatan), dan Padang (Sumatera Barat). Dan tugas sementara di sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri, seperti Republik Namibia, Republik Afrika Selatan, Botswana, Inggris, Singapura, Malaysia, Thailand.
Bersama Sastrawan Hamsad Rangkuti, diundang mengikuti Pertemuan Penulis Dunia dan London Book Fair, 2004.
Di luar profesi wartawan, Yurnaldi juga dikenal sebagai sastrawan/penyair Indonesia. Antologi tunggal yang telah terbit Berita kepada Ibu (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat nasional di Banda Aceh tahun 1996.
Puisi-puisinya selain dimuat di berbagai media massa nasional, juga terhimpun dalam antologi bersama penyair Indonesia lain, yakni Rantak 8: Antologi Puisi Penyair dari Sumatera Barat (Kelompok Studi Sastra dan Jurnalistik Padang-Sumatera Barat, 1991), Taraju '93: Kumpulan Puisi Indonesia Sumatera Barat (Yayasan Taraju Ekspresi Budaya, 1993), Antologi Puisi Rumpun (Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat dan Departemen Pendidikan Nasional, 1992), Puisi 1999 Sumatera Barat (Dewan Kesenian Sumatera Barat, 1999), Parade Sajak-sajak Indonesia (Haluan, 1994), Puisi 50 Tahun Indonesia Merdeka (Taman Budaya Solo, 1995), Kumpulan Puisi Jalan Bersama (Yayasan Panggung Melayu, 2008)
Sebagai penyair sering dipercaya jadi juri lomba cipta puisi dan lomba baca puisi. Terakhir salah seorang juri Tarung Penyair Panggung di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 27 Agustus 2008. Juga salah seorang juri pemberian nama Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Sumatera Barat. Sering juga diundang membaca puisi di berbagai kota. Terakhir baca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam acara Baca Puisi Jalan Bersama yang digelar Yayasan Panggung Melayu, 30 November 2008 dan dalam Panggung Revitalisasi Budaya Melayu, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Desember 2008.
Namanya juga tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (penyusun Korrie Layun Rampan, Penerbit Balai Pusataka, 2000). Pernah juga menjadi redaktur tamu dan memberikan catatan apresiatif puisi di harian Haluan, Padang, selama satu tahun.
Selain dikenal sebagai penyair, Yurnaldi juga dikenal sebagai seniman: sebagai pelukis, kaligrafer, fotografer dengan berpameran beberapa kali dan meraih sejumlah prestasi. Beberapa kali juara dan jadi juri lomba foto. Juga juara dan juri lomba karikatur tingkat nasional.
Mantan Pengurus Harian Dewan Kesenian Sumatera Barat (periode 2005-2007), Koordinator Penggiat Sastra Padang, Pemimpin Produksi Teater Noktah Padang, yang telah mementaskan lebih 20 kali naskah teater dengan sutradara Suhendri dan Lilik.



Menulis, asyik gitu, loh...(5)


Satu tema


Yang perlu Anda ingat, sebuah artikel pada dasarnya menyampaikan satu tema, bahkan cenderung menyempit. Hanya membahas satu subtema. Akan tetapi, pendekatannya bisa dari berbagai sudut tinjauan.
Dalam menulis, sejak dari kalimat pertama sampai kalimat penutup jangan ada kesan bahwa penulis hendak memaksakan pandangannya, seolah-olah apa yang hendak disampaikan bersifat mutlak.
Kecendekiawanan atau sikap ilmiah bukan karena penulis menggunakan setumpuk istilah-istilah ilmiah, tetapi dalam cara menyampaikan argumentasi dan dalam mengambil kesimpulan. Artikel atau opini mengambarkan tingkat peradaban dan karakter penulis. Cita rasa bahasa yang tinggi sangat penting jadi milik penulis artikel/opini. Kalau Anda ragu dengan sebuah kata atau istilah, bukalah kamus. Untuk itu, penting Anda memiliki Kamus Umum Bahasa Indonesia, Tesaurus Bahasa Indonesia, Kamus Istilah, Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Pedoman Pembentukan Istilah, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing, dan banyak buku sejenis.
Kemudian, fakta dan data yang Anda tampilkan dalam tulisan jangan keliru, jangan salah kutip. Sumbernya harus jelas. Kalau dapat, usahakan tampilkan data mutakhir. Untuk mencari data ini, Anda bisa akses internet. Sebab, kalau data di buku-buku umumnya tidak mutakhir lagi. Banyak sumber data yang bisa Anda jajaki atau kunjungi.
Selesai menulis sebuah artikel, jangan buru-buru dikirim. Baca ulang dua-tiga kali. Bila dirasakan masih ada yang kurang, revisi lagi dan buatlah yang terbaik. Bila sudah merasa sempurna, minta pendapat satu-dua orang teman sejawat tentang Artikel yang Anda tulis. Kalau ada saran dan masukan darinya, terima dengan suka cita dan pertimbangkan. Jika perlu tulis ulang lagi dengan menambahkan masukan, saran dan data tambahan tadi. Usai itu, minta juga masukan, artikel yang Anda tulis dikirim ke media mana baiknya? Kalau proses ini Anda lakukan, saya yakin, tulisan Anda bakalan jarang ditolak redaksi.
Suatu tulisan jangan dikirim ke banyak media, dengan sistem untung-untungan, dengan pikiran: terserah, media mana yang duluan memuat. Kalau sudah dimuat, baru tulisan yang sama di media lain, minta Anda batalkan. Ini sikap yang kurang beretika. Apalagi kalau satu tulisan Anda sampai dimuat di dua media, Anda bakalan diberi sanksi, mungkin masuk daftar hitam.Harusnya, jika media yang Anda tuju menolak tulisan Anda, maka peluang dimuat ada pada media lain. Media yang profesional akan mengabari Anda apa tulisan Anda diterima atau ditolak, atau diterima dengan sejumlah catatan, mungkin tulisan diminta agar dimampatkan, dikurangi sekian ratus kata, misalnya. Kalau ditolak, pasti redaksi memberikan alasannya. (bersambung)

menulis, asyik gitu. loh...(4)


Bagaimana Memulai
Dalam buku Menjadi Wartawan Hebat, pada bagian bahasan “Menjadi Kaya dengan Menulis” (halaman 65-75), yang saya tulis dan tandas dalam waktu empat bulan, saya menekankan bagaimana seorang penulis itu harus sensitif dan reaktif, serta peduli.
Tanpa sikap demikian, Anda telat terus untuk memulai. Sensitif, jika Anda membaca suatu tulisan dan tulisan itu tentang persoalan yang Anda minanti di media massa, kenapa tidak mencoba memberikan tanggapan atas tulisan tersebut. Anda pasti berbeda pendapat, gagasan, sehingga tulisan orang yang Anda baca perlu ditanggapi. Bisa juga Anda merespon pernyataan pejabat daerah/pejabat negara. Karena itu Anda mesti menulis.
Reaktif, ya, ketika Anda tersengat dengan suatu persoalan/bacaan (bisa saja berita, suatu kasus di suatu daerah), misalnya tertinggi kasus kematian ibu melahirkan dan bayi di Papua, saya menulis laporan itu di Kompas, mestinya Anda mencari akar persoalannya dan menawarkan solusi. Siapa tahu gagasan Anda sebagai dokter yang penulis atau antropolog yang menulis bisa mencerahkan.
Atau, kalau Anda seorang dokter yang bertugas di pedalaman Papua atau Mentawai, Anda bisa menulis berdasarkan pengalaman Anda, yang tentu amat berguna bagi orang banyak (pembaca). Misalnya, kenapa dan ada apa dengan tingginya kasus kaki gajah di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Ada kasus unik, misalnya, kenapa masyarakat asli Mentawai memotong (memapat) dan meruncingkan giginya. Kenapa masyarakat papua gemar makan pinang muda dengan kapur sirih, bagaimana tinjauan kesehatannya? Sekecil apa pun pengalaman empirik Anda, kalau ditulis akan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Lalu sikap peduli. Banyak persoalan di sekitar Anda, yang menuntut Anda sebagai makhluk sosial dan punya tanggung jawab sosial dan moral untuk peduli. Turut memikirkan bagaimana masyarakat sekitar Anda bisa lebih baik pendidikannya, kesehatannya, kesejahteraannya, dan sebagainya. Kepedulian Anda tentu dengan menuliskan problema yang dialami masyarakat dan masukan apa yang bisa Anda berikan untuk pemerintah.
Di luar itu, Anda perlu peduli dengan hari-hari penting tertentu setiap bulan. Misalnya Hari Kesehatan Sedunia, 7 Maret. Hari Kesehatan Nasional, 12 November, Hari HIV/AIDS bulan Desember. Ada Hari TBC, dan banyak hari-hari penting lainnya. Dalam rangka itu, sepekan sebelum Anda mulailah menulis tentang itu dengan informasi terkini dan gagasan terbaru, mungkin disesuaikan dengan kearifan budaya setempat (suatu daerah). Dengan cara begini, tulisan Anda akan punya warna lain, sehingga mendapat prioritas untuk dimuat.
Dalam menulis, Anda bisa menjadi seorang spesialis, yang sesuai dengan kompetensi Anda. Namun, Anda bisa juga menjadi seorang penulis generalis, punya minat yang luas. Asal topik atau tema tulisan yang Anda tulis, Anda kuasai.
Tulisan bisa menyangkut minat/hobi tertentu atau pengalaman pribadi. Mungkin Anda menulis tentang suatu daerah/obyek wisata. Menulis pertunjukkan seni musik, teater, ballet, wayang, dan atau pameran lukisan, peragan busana, dan atau suatu kesenian tradisional yang terancam punah, dan banyak hal lainnya. Untuk hal-hal seperti minat khusus ini, tulisan Anda mesti disertai sejumlah foto-foto pendukung.
Dalam menulis, persoalan teknis juga tak kalah penting, di samping ide dan gagasan itu sendiri. Ketika Anda membaca suatu tulisan orang lain di media massa, mungkin Anda berkesimpulan, tulisannya sulit dipahami dan atau tulisannya membuat persoalan menjadi jernih. Duduk masalahnya dan bernas solusinya.
Nah, dalam menulis, Anda juga harus berupaya ke arah itu, yakni bagaimana Anda tulisan Anda bisa menjernihkan suatu persoalan yang aktual di masyarakat. Enak dibaca, mencerahkan, mencerdaskan, dan bermakna.
Itu artinya, Anda jangan mengulang ide-ide orang lain yang pernah ditulis. Anda harus memiliki gagasan-gagasa baru, bernas, dan cerdas. Pada sebuat tulisan artikel atau opini ada informasi, ada fakta-fakta dan dilengkapi dengan opini, ide, konsep, dan gagasan. Porsi setiap fakta, informasi, dan setiap ide harus disesuaikan dengan fngsi fakta, informasi, ide, atau pemikiran itu. Jangan ada yang melebihi takaran yang pantas dalam struktur atau desain tulisan yang Anda buat.(bersambung)

Menulis, Asyik Gitu, Loh...(3)


Menjadi Penulis
Bagaimana menjadi penulis profesional itu? Dalam berbagai kesempatan ketika saya menjadi instruktur jurnalistik dan kepenulisan saya acapkali dihadapkan pada pertanyaan ini. Jawabannya gampang banget, segampang menulis itu sendiri. Kuncinya membaca, membaca, membaca, dan menulis, menulis, dan teruslah menulis.
Anda mungkin pernah mengeluh tak ada ide menulis. Yang namanya ide, tak akan datang tiba-tiba dengan sendirinya. Tak selalu datang ketika Anda lagi merenung di toilet, misalnya. Ide itu harus dicari, digali, dan ramulah menjadi gagasan menarik. Membaca, tak sebatas membaca buku-buku atau membaca teks-teks tertulis. Akan tetapi, menurut saya, juga membaca lingkungan, fenomena apa yang tengah terjadi. Membaca pengalaman, juga tidak kalah pentingnya, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.
Mungkin, ketika Anda berada di atas bus/mobil dalam suatu perjalanan, Anda pasti menemui banyak ide. Bisa di atas kerea api, pesawat terbang, atau jalan keliling kampung dengan sepeda. Bahkan, jika Anda jalan kaki, selangkah-dua langkah dari rumah Anda, Anda bisa mendapati ide yang menarik untuk ditulis. Jangankan itu, dalam genggaman Anda sekarang, pada telepon seluler Anda, ide-ide bersiliweran. Dalam satu-dua menit surfing di internet, satu-dua ide pun bisa didapatkan.
Puluhan ide, gagasan, terserak di mana-mana.Yang peting dari semua itu, bagaimana mengasah kepekaan hati nurani. Seorang penulis pasti punya naluri, daya cium persoalan, pengamatan, dan rasa keingintahuan. Jika Anda menemukan ide, persoalan menarik, pasti Anda tergugah ingin menulisnya?
Lalu, pertanyaannya Anda berikutnya, jika tertarik, bagaimana menuliskannya?
Ide yang ingin Anda tulis, inapkan atau endapkan dulu (bisa hitungan jam, hari, minggu), lalu perkaya ide Anda itu dengan hasil bacaan atau penelitian atau pengalaman empirik Anda. Agar tidak kelewatan isu atau keaktualan, maka tulislah secepatnya.
Prinsip yang perlu Anda pegang, seperti motto PT Semen Padang, pabrik semen tertua di Indonesia, yang sudah berusia 100 tahun, yaitu “Kami telah berbuat sebelum Anda memikirkannya”. Artinya, Anda sudah menulis sebelum penulis lain menuliskan gagasan serupa. Apalagi kalau dalam tulisan Anda membuat istilah yang baru, gagasan baru, maka Anda pasti dikenal dan dikenang banyak orang.
Misalnya, bagaimana Saldi Isra menulis istilah “tebang pilih” dalam penanganan kasus korupsi sebagaimana ia tulis di KOMPAS, lalu istilah itu kemudian menjadi popular. Setelah itu, Saldi juga menulis bagaimana tersangka kasus korupsi itu pakai baju khusus, tidak berdasi duduk di kursi pesakitan. Sebagai hukuman sosial, ia diharuskan pakai baju terdakwa atau diberi tulisan. Gagasan ini kemudian diimplementasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan didukung banyak elemen masyarakat.
Begitulah enaknya jadi penulis. Banyak peluang-peluang ikutan yang bisa diraih setelah itu. Sering menulis, kita punya nama. Karena punya nama, kita diperhitungkan dan punya nilai jual untuk jadi pembicara seminar, penulis kolom, pengasuh rubrik, komentator, menjadi tim ahli, dan lain sebagainya. Jam terbang kita, kalau menjadi seorang penulis, akan lebih tinggi. (bersambung)

Menulis, Asyik Gitu, Loh...(2)


Menebar Ilmu dan Amal
Dalam testimonial yang saya berikan untuk buku Cara Mudah Membangkitkan Gairah Menulis (penerbit Citra Budaya Indonesia, Oktober 2007) yang ditulis teman saya, Waitlem, saya mengatakan, “Menebar ilmu dan amal dengan menulis sudah saatnya dimulai dari sekarang. Sekali lagi, dari sekarang. Penulis tidak saja semakin dikenal dan kaya secara finansial, tetapi akan punya jejak yang panjang dan meneruka sejarahnya sendiri”
Ya, mulailah dari sekarang menulis. Malu dong, sudah sarjana, magister, dan/atau doktor, dan profesor, tak bisa memberikan kontribusi pemikiran, gagasan, untuk kemaslahatan orang banyak. Dan untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan pembangunan di negeri ini.
Karena Anda punya kompetensi di suatu bidang (atau mungkin beberapa bidang) keilmuan, maka dengan menjadi penulis sebenarnya Anda berarti telah menebarkan atau nemularkan ilmu dan pengalaman yang Anda miliki. Kalau ilmu dan pengalaman yang Anda tulis diambil manfaatnya bagi pembaca, maka secara tidak langsung Anda telah beramal.
Amal itu anggap saja suatu sedekah, sehingga sepanjang pembaca memetik manfaat dari apa yang Anda tulis, Anda gagas, maka mudah-mudahan sepanjang itu pula pahala yang Anda dapatkan dari Allah SWT. Sedekah tidak identik dengan memberikan sejumlah uang, lho! Bisa juga pemikiran.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS Al Hajj{22}:50).
Pada surat An-An’am, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) 10 kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS An-An’am {6}: 160).
Karena itu, barangkali, ada benarnya juga orang-orang yang menulis dikaruniai Allah SWT umur panjang. Tidak pikun, tidak stres sehat fisik dan finansial. Banyak penulis yang sekarang kita kenal, usianya di atas rata-rata dibanding yang bukan penulis. Untuk menyebut beberapa contoh, seperti Rosihan Anwar, usianya sudah 87 tahun. Beliau masih tageh, pikirannya masih jernih, ingatannya tajam. Hari Senin, 2 Maret 2009, masih bisa memberikan pemikiran tertulis sepanjang 14 halaman dalam diskusi tentang 100 Tahun Sutan Sjahrir. Begitu juga Pemimpin Umum KOMPAS, Jakob Oetama, yang kini sudah berusia 78 tahun.
Sepajang tahun 2009 hingga bulan Februari, setidaknya saya menghadiri undangan peluncuran dan bedah buku, memperingati usianya yang sudah 70 tahun, seperti Harmoko, Atmakusumah Sastraatmadja, Panda Nababan. Juga buku Syofyan Lubis (68).
Kenyataan yang tidak bisa dibantah; menulis itu membuat sehat pikiran, sehat badan, sehat finansial, dan tentu saja menjadi orang yang diperhitungkan, serta banyak amal. Amin. (bersambung)

Menulis, asyik gitu, loh...(1)




Menulis, Asyik Gitu, Loh!



Yurnaldi


nalkompas@yahoo.com


Penulis buku best seller Menjadi Wartawan Hebat





Pernahkah Anda bermimpi dan membayangkan, suatu ketika Anda ditelepon sebuah perguruan tinggi, dan/atau organisasi profesi, dan/atau badan/lembaga/instansi pemerintah untuk jadi pembicara dalam suatu forum diskusi, seminar, atau apa pun namanya yang sejenis dengan itu?


Pernahkah Anda bermimpi dan membayangkan, suatu ketika Anda dihubungi redaktur opini media cetak, dan Anda diminta untuk menuliskan pandangan dan gagasan Anda tentang sesuatu yang lagi hangat-hangatnya, menjadi isu yang “seksi”, jadi buah bibir banyak orang?


Pernahkah Anda bermimpi “dikejar-kejar” kepala pusat pemberitaan dan/atau wartawan televisi, meminta kesediaan Anda jadi narasumber atau komentator pada suatu acara yang disiarkan secara langsung?


Pernahkah Anda bermimpi, di telepon seluler Anda akan masuk bertubi-tubi puluhan pesan pendek (SMS) yang mengapresiai dan/atau memuji buah pemikiran dari yang Anda tulis di suatu media cetak?


Dan sekali lagi, pernahkah Anda bermimpi, buku yang Anda tulis –kumpulan artikel yang pernah diterbitkan media massa, menjadi best seller di toko buku dan diresensi banyak pembaca?


Kalau pernah, berarti Anda benar-benar ingin jadi penulis. Niat jadi penulis sudah merupakan modal dasar yang sangat bernilai bagi Anda.


Kalau tidak pernah mimpi seperti itu, bersiaplah Anda jadi orang yang tak dianggap. Bersiaplah jadi orang yang tidak diperhitungkan. Aih…, malu nian jadi mantimun bungkuak, kata orang Padang. Sebab, itu sama saja o-on, kata anak-anak sekarang.


Betapa banyak, dari jutaan sarjana, magister, dan doktor, bahkan bergelar profesor di Indonesia, sampai hari ini tidak pernah menulis artikel di media massa atau tulisan ilmiah popular di jurnal-jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. Menulis skripsi, tesis, atau disertasi tak ubahnya menulis untuk yang terakhir kalinya.


Kalau ditanya, kenapa tidak menulis di surat kabar? Seribu satu alasan kemudian mengemuka jadi jawaban. Kacian, deh lho!



=====


**)Pokok-pokok pikiran yang disampaikan pada Seminar Jurnalistik bertema Publish Your Mind, Munas/Mukernas Badan Pers Nasional-Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia, di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, 7 Maret 2009






Mimpi-mimpi yang diungkapkan tadi akan jadi kenyataan pada diri seorang penulis. Ya, pada seorang penulis semua yang tak mungkin, menjadi mungkin. Bahkan, akan banyak hal-hal yang tak terduga, misalnya, popularitasnya bisa menyamai atau melebihi popularitas para selebiritas. Makanya, jangan heran, penulis itu, suatu ketika, juga bak selebritas. Punya fans dan punya pengagum. Olala, keren!


Atau sebaliknya, agar tidak menjadi selebritas kebanyakan, tapi selebritas yang diperhitungkan, maka ia kemudian juga menjadi seorang penulis. Setidak-tidaknya, ia bisa dicap sebagai selebiritas yang mumpuni, selebritas yang cerdas-cendekia.


Begitu juga Anda. Dengan menjadi mahasiswa yang penulis atau dosen yang penulis, atau dokter yang penulis kelak, sekurang-kurangnya Anda telah menjadi mahasiswa, dosen, dokter yang diperhitungkan di dalam dinamika pemikiran tentang gagasan dan atau solusi dari persoalan kekinian secara regional, nasional, bahkan internasional.


Dengan demikian, Anda tidak hanya membuat pencitraan tentang diri Anda menjadi lebih baik dan diperhitungkan, tetapi juga berdampak pada pencitraan terhadap profesi, lembaga, dan organisasi di mana Anda berkiprah.


Siapa yang tak bangga, identitas di akhir suatu artikel yang Anda tulis, diterakan; misalnya, “Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang”. Atau, “Handrawan Nadesul, Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku”.


Kebanggaan akan menjadi bertambah, karena tiba-tiba di rekening Anda ada kiriman honorarium dari tulisan yang Anda tulis. Ternyata, menulis juga menyehatkan secara finansial. Mungkin besarannya tidak sebesar penghasilan dari profesi Anda menjadi seorang dokter, misalnya. Akan tetapi, nikmatnya dapat honorarium, terlepas besar-kecilnya, merupakan kebahagiaan yang tiada tara.


Ada juga, walaupun kegiatan menulis sebagai kegiatan sampingan, namun hasilnya bisa melebihi pendapatan dari pekerjaan utama. Seorang dosen, jika ia juga penulis artikel, maka honorarium yang ia terima bisa 2 sampai 4 kali lipat dari gajinya sebagai dosen. Satu tulisan, imbalannya bisa angkanya tujuh digit. Onde mande! (bersambung)



Mencoba ikut lomba


Kesempatan tidak selalu ada. Di balik kesempatan itu sebenarnya ada peluang. Ya, kalau ada kesempatan lomba, yakin ada peluang juara. Saya tidak terlalu sering ikut lomba dan ngotot harus ikut. Pengalaman selama ini, ikut lomba kalau lagi ada ide dan gagasan. Dan anehnya, saya selalu ikut --mengirimkan karya, pada saat atau menjelang lomba ditutup.

Baik lomba foto maupun lomba tulisan, serta lomba cipta puisi, dan lomba karikatur. Setiap lomba itu, selalu ada keyakinan "pasti menang", terserah juara berapa. Pokoknya optimistis. Dan ternyata, hasilnya tak sia-sia benar. Boleh dikata, 90 persen lomba yang diikuti, pasti salah satu gelar juara saya raih. Ya, alhamdulillah.

Ada juga yang tak diikutsertakan, maksudnya tidak sengaja dikirim, kecuali hasil pantauan panitia lomba, tiba-tiba terpilih juga jadi juara. Terakhir, tulisan saya di kompas.com tentang gizi (judul Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia (tayang 11 Agustus 2008, di rubrik kesehatan/ibu dan anak) terpilih sebagai tulisan terbaik versi PT Nestle Indonesia. Ya, alhamdulillah.

Baru-baru ini, sehari menjelang penutupan lomba artikel bertema "Ciptakan Bumi yang Lebih Baik" yang diadakan Mal Ciputra, saya kembali menjajal kehebatan dan kekuatan gagasan. Tulisan yang saya buat berjudul "Peduli Bumi, Solusi Kemiskinan".

Surat undangan dari panitia untuk menghadiri pengumuman pemenang hari Jumat, 4 Desember 2009, hari Rabu (2/4) sudah di tangan. Sedari awal, saya yakin meraih juara. Semoga prediksi saya tidak meleset. Boleh, toh, punya keyakinan seperti itu? Itu bukan sebuah kesombongan, tapi percaya diri. Ya, itulah modal yang selama ini dan sampai kapan pun, saya punyai dan jadi motivasi menjalani profesi sebagai penulis dan wartawan.

Saya janji, kalau juara, tulisannya akan saya tampilkan kelak.


Jakarta, 2 Desember 2009

Selasa, 01 Desember 2009

Buku antirokok


Berkali-kali meliput masalah rokok, jadi terpikir membuat buku antirokok. Pasalnya, saya memang tidak perokok dan apalagi kuliah mengambil program pendidikan kimia, ya sdikit banyak tahu kandungan dan bahaya bahan kimia pada rokok tersebut. Jadi, tidak merokok karena sadar akan bahaya yang akan ditimbulkannya.

Lantas, beberapa tahun belakangan gencar aksi unjuk rasa antirokok. Rokok kini sudah menjamah anak-anak, sehingga anak sekolah dasar pun sekarang menjadi ketagihan rokok. Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Cuma sayangnya, setiap aksi unjukrasa itu, tak ada "bahan" yang bisa dijadikan argumen. Dan untuk menghimbau orang agar tidak merokok dan antirokok, kalau bisa punya bahan yang mencerahkan, syukur-syukur bisa mencerdaskan.

Atas alasan tersebut, saya coba menulis buku Antirokok Sehat Fisikal, Cerdas Akal, dan Sehat Finansial. Dami buku sudah selesai, sambutan dua orang menteri pun sudah. Tinggal menerbitkannya lagi. Harus bersabar kalau Anda ingin membacanya. Pokoknya, buku serupa tak pernah ada di dunia. Hehe...

Saya lagi menabung untuk mencukupi dana penerbitannya. Atau anda bersedia jadi donatur, demi masa depan anak-anak, demi masa depan (anak) bangsa? Kalau ada donatur, buku tersebut bisa dibagikan gratis untuk perpustakaan sekolah, pesantren, remaja masjid, perpustakaan desa/daerah/negara, organisasi masyarakat/massa, dll.


Jakarta, 2 Desember 2009



yurnaldi

Buku jurnalistik


Buku jurnalistik hadir tidak seperti buku-buku lainnya. Buku jurnalistik mungkin susah Anda peroleh di toko-toko buku. Kalau pun ada, mungkin kurang sesuai dengan selera Anda. Bisa jadi buku tersebut ditulis oleh orang yang hanya tahu teori, tapi kurang memahami praktiknya. Yang menulis mungkin dosen suatu perguruan tinggi.
Ada juga buku yang ditulis oleh wartawan. Ini sangat sedikit jumlahnya. Mungkin karena sibuk dengan rutinitas keseharian, sehingga banyak wartawan hampir tidak punya waktu membukukan pengalaman dan pengetahuannya, yang mungkin berguna bagi pembaca lainnya.
Banyak wartawan di Indonesia, yang sampai akhir hayatnya tidak sempat menulis buku. Ada banyak wartawan senior yang sampai kini pelit berbagi ilmu.
Saya, alhamdulillah sejak duduk di bangku mahasiswa, sebagai aktivis pers kampus dulunya, sudah ratusan kali menjadi narasumber pelatihan/diskusi jurnalistik, hingga sekarang. Semasa mahasiswa saya juga sudah menulis dua judul buku jurnalistik, yakni Kiat Praktis Jurnalistik dan Jurnalistik Siap Pakai. Alhamdulillah buku tersebut laris manis, cetak ulang, dan jadi referensi banyak orang, mahasiswa yang kuliah di ilmu komunikasi.
Dan setelah tamat kuliah dan menjadi wartawan profesional, saya sudah menulis buku Menjadi Wartawan Hebat dan Menjadi Wartawan dan Jutawan Foto. Buku Menjadi Wartawan Hebat masih belum sempat saya revisi untuk cetak ulang, karena masih banyak permintaan dan yang menanyakan. Buku Menjadi Wartawan dan Jutawan Foto, yang sempat diberi pengantar teman saya Arbain Rambey, yang sudah siap sejak 2002 lalu, tertunda terus penerbitannya.
Rencananya, buku-buku tersebut akan saya terbitkan sendiri. Kalau diterbitkan penerbit lain, selaku penulis hanya dapat bagian 10 persen, sebagai royalti. Karena pernah punya pengalaman terbitkan buku sendiri dan untung besar, saya pilih ke depan untuk menerbitkan sendiri.
Begitu ceritanya.

Jakarta, 2 Desember 2009

Lahir juga bloq wartawan hebat


Assalamu'alaikum wr.wb.,
Dengan mengucap basmallah, saya akan mencoba hadir untuk siapa pun yang ingin informasi tentang dunia jurnalistik, dunia kewartawanan. Jika selama ini mungkin buku-buku jurnalistik saya terbatas penyebarannya atau belum cetak ulang, maka melalui media ini kita bisa saling menyapa.
Media ini ada tidak berpretensi saya serba bisa. Mungkin ada bagian yang saya kurang bisa atau kurang menguasai, sehingga saya pun mungkin perlu juga belajar dari Anda. Pokoknya, kalau informasi di sini bermanfaat, sebarkan dan tularkan. Jika merasa tak ada guna, anggap angin lalu saja.
Oke, kita awali ini semua dengan niat menjadi wartawan kebat, menjadi wartawan yang diperhitungkan. Jangan menjadi wartawan atau penulis yang hanya sekadar masuk hitungan. Diperhitungkan, tentu konsekuensinya, bagaimana menjadi wartawan yang berprestasi dan profesional.
Semoga tetap sehat dan sukses selalu. semoga Allah SWT tetap melimpahkan rahmat dan karunianya pada kita semua. Amin

Jakarta, 2 Desember 2009

Yurnaldi